Rabu, 24 Juli 2013

ASPEK ADAT PENOBATAN POHUTU MOMULANGA

3.1.Pengantar
             Suku Gorontalo sebagai salah satu di antara ratusan suku bangsa ad yang di Nusantara,sama halnya dengan suku lainnya yang memiliki kebudayaan sebagai peninggalan nenek moyang yang sangat berbeda latar belakangnya.Keragaman ini di kenal dengan istilah Bhineka Tunggal Ika.Beraneka ragam tetapi satu.Setiap kebudayaan yang beraneka ragam itu dipelihara dan dipertahankan oleh pendukungnya;malahan pendukungnya berusaha untuk mengembangkannya.Mengembagkan dalam arti meningkatkan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.Usaha ini dimaksudkan agar dengan demikian generasi berikutnya sebagai generasi penerima dan pelanjut kebudayaan itu tetap merasa memilikinya dan tidak akng kaku melaksanakannya.
             Berkembangnya kehidupan kebudayaan daerah ini yang bersama-sama dengan kebudayaan daerah lainnya sebagai bagian kebudayaan Nasional,menjadikan kebudayaan indonesiam maju pesat.Selain dari pada usaha warga pendukunya yang bergiat mengembangkan sebagai identitas sukunya,hal ini juga tidak lepas dari usaha-usaha dan perhatian pemerintah.Hal ini sebagai perujudan dan konsekwensi amanat pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi’’Pemerintah memajukan kebudayaan nasional indonesia’’.
             Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan ini disadari bahwa nilai budaya itu mencerminkan nilai budi luhur bangsa.l.Nilai budaya luhur mana dapat digunakan untuk memperkuat penghayatan dan pengamalan pancasila,memperkuat kepribadian bangsa mempertebal rasa harga diri dan kebangaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan.Ini jelas dapat di baca dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara[GBHN] 1983 Bagian kebudayaan [3] butir [a].Hal ini adalah dasar yang cukup kuat dan meyakinkan kepada kita semua bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk menggali butir-butir mutiara kebudayaan daerah dan sekaligus memanfaatkannya sebagai pendorong pencepatan pembangunan melaju menuju sasarannya.Usaha ini perlu disadari oleh kita semua karena menanggung resiko dan tanggung jawab.
Antara lain kesediaan kita terutama pemangku adat itu sendiri untuk melepaskan dan meninggalkan’’bila ada’’usur adat istiadat yang tidak relevant dengan nilai pembangunan yang disebabkan karena situasi dan kondisinya yang sudah berbeda.Kesediaan disini bukan berarti meninggalkan dan tidak menghargainya.Kita hanya membuat penyesuaian mana harus pula didasarkan pada usaha memperkuat kesatuan sesuai janji luhur kita DULUWO LIMO LO POLAHA’’A
            Dari berbagai wulito [penuturan] para informan khususnya para bante [pemangku adat], panggola loqu lipu [Tokoh masyarakat bekas pejabat] dan berbagai tulisan yang berhubungan dengan adat istiadat yang jumlahnya terbatas di dapat sejumlah adat istiadat yang hingga saat ini dilaksanakan oleh masyarakat di daerah ini. B. Ismail Baato kecamatan Kabila dalam semikat Adat tahun 1971 [ 203-205 ] menyatakan terdapat 185 macam jenis kebudayaan khusus upacara adat istiadat Gorontalo.
Almarhum M.Lipooto salah seorang budayawan daerah dalam bukunya sejarah Gorontalo Dua Lima Pehalaa Jilid VIII[1949-17-205]dikemudian sebanyak 188 macam.Beberapa diantaranya masih diperinci lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil.
        Dalam sekian banyak Upacara Adat Istiadat itu salah satu diantara ialah pohutu[Upacara Negeri].Pohutu merupakan Upacara resmi bergabungan dengan keagamaan ,Pemerintah dan pemasyarakatan.Resmi dalam pengertian bahwa pelaksanaanya harys berdasarkan pada ketantuan-ketantuan yang telah di tetapkan oleh adat itu sendiri.Hal ini teryata dalam Tahuda Lo mongopanggola[upacara orang tua-tua];

        Maa dili-dilito,                                              adat telah digariskan,
        Bolo mopoqaito,                                          tinggal merangkaikan,
        Maa hunti-huntingo,                                    adat telah di tetapkan,
        Bolo mopodembingo,                                   tinggal melekatkan,
        Didu boli didu boli,                                                jangan jangan,
        Tomaliqa li mongoli,                                    diroboh roboh lagi.

        Pengertian kalimat:didu boli-didu-boli-temalinga limongelo diatas memang jelas ialah harus memperlakukan ketentuan yang telah ditetapkan.Tetapi di sini perlu diperlakukan disteris interprotesi atau tapsiran sejarah,yang di maksud gengan tidak boleh dirobah-robah lagi itu adalah ketentuan ketatanegaraan atau pemerintahan yang bertalian dengan perjanjian loqu duluwo sebagai pengakhiran dari perang saudara yang berlangsung selama 2 abad lebih.
        Di samping dari pada itu perlu pula diperhatikan pula bahwa adat dan hukum harus berubah sesuai dengan sifat hukum sendiri selalu harus berubah-ubah menurut kepentingan hukum dan kesadaran hukum serta cita-cita rakyat pendukung hukum itu.
Dari hasil penelitian Dr.S.Nur.SH. melalui wawancara dengan Almarhum J.Jasin [1979: 204-205] bahwa huntingo dan dilito adalah patron hukum atau formula yang didasarkan pada tahuda yang berbunyi:
        Wonu tanggi tumopolo                       jika saluran tersumbat
        Pu’lo lalilolo                                        sampah yang dikeluarkan
        Wonu munggalo lulu’o talilo              jika runtuh beringin berabu
        Tanggi lumalilo                                   saluranlah yang dipindah
         
          Maksudnya apabila sesuatu adat dan hukum adat masih dapat diperlukan atau masih memenuhi keseimbangan dalam masyarakat,maka semua pelanggaran atasnya perlu diadakan tindakan atau sangsi,tetapi sebaliknya kalau sesuatu ketentuan tidak memberikan keseimbangan yang wajar ketentuan itulah yang dibaharui.
        Dengan penjelasan diatas memberikan ketenggaran kepada sebagai pendukung kebudayaan daerah untuk selalu bersedia untuk membuat perubahan dan penyesuain kebudayaan itu dengan perkembangan yang ada,ini bukan berarti kemajuan yang kita capai itu akan menghilangkan makna atau harkat kebudayaan itu.
        Dalam terjadi lain malahan perubahan itu merupakan perintah sebagai berikut:
       
Wonu tangga umcungo                              jika tangga berkelok
Poqi tulide dulungo                          luruskan dengan tujuan/nilai.
Wonu tangga mobibidu                              jika tangga berpilin
Ito mopoqo tulidu                                       tugas anda maluruskannya
Wonu tangga lumumbulo                jika tangga melengkung patah
Ito tuqo-tuqo dulo                                       tugas anda memudik/menggauhkannya.

          Menurut Dj.Buloto Baato Kecamatan Limboto dalam buku seminar adat [1971 : 57] yang di maksud dengan pohutu ialah pelaksanaan tata upacara adat istiadat daerah Gorontalo.
Jadi maksudnya pohutu loqu lipu [upacara  negeri]dalam berbagai peristiwa.
Beliau membagi pohutu atas :
a. pohutu pada hari-hari besar islam;
b. pohutu dalam penobatan;
c. pohutu dalam perkawinan;
d. pohutu dalam kedukaan.
        Penobatan sebagai salah satu pohutu pelaksanaan upacaranya sangat resmi dan terikat,bila dibandingkan dengan pohutu lainnya.Hal yang demikian yang dapat diikuti pada semua wulito Baato yang menuturkan bagaimana berbentuk lipu (Kerajaa) dan linula (bagian Suatukarajaan). Lipu (kerajaan) ituialah Mulontalo (Gorontalo), limutu (Limboto), suwawa (Bonda, Bune), Bulango (Tapa) dan Atinggola.Kelima kerajaan inilah yang terkenal dengan nama U-DULUWO LIMO LO POHALA’’A.
        Pelaksanaan pohutu pada kelima kerajaan ini dahulu bervariasi dengan menggunakan bahasa daerahnya sendiri yakni (a)Suwawa dengan bahasa Suwawa,(B) Gorontalo,Limboto dengan bahasa Gorontalo,(c) Tapa dengan bahasa Bolango (sekarang dengan bahasa Gorontalo) dan Atinggola dengan bahasa Atinggola.Demikian pula pelaksanaannya.Tetapi tujuan yang sama ialah (a) memberikan kehormatan dan kedudukan yang tinggi.Sesuai jabatan yang dinobatkan agar mempunyai wibawa di mata loqu-Lipu (masyarakat)dan (b) bahwa kedudukan yang diperolehnya secara demokratis itu kepentingan kemaslahatan masyarakat pada umumnya.Pohutu dalam penobatan olongio (raja) yang kelak nanti memegang tempuk pemerintahan yang tertinggi dalam suatu lipu diucapkan dengan sangat khidmat dengan penuh kebesaran .Mungkin sama halnya dengan upacara kenegaraan tentang pelatihan seorang Bupati/Wakil kotamadya yang didasarkan pada UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan didaerah.Disini yang melantik ialah pejabat minimal setingkat lebih tinggi yang di tunjuk untuk itu sesuai dengan hirarkhi jabatan dalam pemerintahan yang diatur dalam peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku,proses sampai tertunjuknya sebagai Olangia secara demokratis yakni dipilih oleh wakil-wakil melalui  Bantayo poboqide.Jelasnya bahwa sistem pemerintahan lo’u lipu di Daerah Gorontalo adalah sesuai dengan falsafah pancasila dan Uud 1945.Ini merupakan bukti yang nyata bahwa pancasila yang menjadi falsafah negara kita telah ada atau dihayati oleh masyarakat di Nusantara ini sejak dahulu kala.Karena memang pancasila berasal dari pandangan hidup,cita-cita hukum,cita-cita moral dari bangsa indonesia,menurut TAP No.XX/MPRS/1966 yo TAP MPR No.
          Setelah seorang Olongia terpilih,maka akan diadakan pelantikan (penobatan)nya,yang melakukan penobatan Olongio ialah wu’u (di suwawa),Baate  dan wu’u  di Gorontalo, Limboto, Bolango, Atinggola),Sebagai ta’uwa (ketua) Bantayo pobo’ide adalah (Dewan perwakilan Rakyat). Bantayo pobo’ide adalah suatu dewan yang berfungsi sebagai parlemen yang dianggotai oleh wakil-wakil utolia yang terbagi atas molopanggola (Orang-orang tua berpengalaman dan tula’ibala yakni orang-orang berkarya dalam masyarakat).
          Dengan memperhatikan wulito seperti diatas,maka dipergantian pohutu penobatan pada waktu dahulu dilaksanakan dalam hubungan dengan dua hal yaitu :
a.Untuk memangku suatu jabatan tertentu dalam lingkungan;
   (1) motonggolipu (Pemerintahan);
   (2) motolowu’udu (melaksanakan adat)
   (3) motolo’eya (beragama);
   (4) motolobala bala to lipu (keamanan);
b.momulanga ( pemberian titel,gelar jabatan).
        Pohutu butir (a) yakni nomor 1,2,4 dikenal dengan nama buwa tula towu longo (tiga utas tali ).Buwatula towu loongo terdiri dari (1) Baato, (2) Bubato dan (3)Apitalau.Masing-masing buwatulo (utas dilengkapi dengan perangkatnya. Jumlahnya tidak sama.
        Dengan adanya perubahan struktur pemerintahan setelah Indonesia Merdaka,Kerajaan-kerajaan di Daerah ini berubah statusnya,maka jabatan olongia dihapus dan diganti dengan jabatan lain sesuai UUD 1945.Dengan terhapusnya jabatan olongia dan diganti dengan jabatan Bupati/Walikota kepala Daerah untuk Gorontalo (kodya) dan Limboto (Kabupaten) dan camat untuk beberapa wilayah tertentu,maka penobatannya(pelantikannya) tidak lagi seperti dahulu, tetapi didasarkan pada perundangan yang berlaku.Yang melaksanakan pelantikan bukan lagi Booato atau wu’u sebagai ketua Bantayo Pobo’ide .Tetapi pejabat yang ditetapkan oleh peraturan perundangan.Pemberian pulanga ini tidak dikukuhkan dengan suatu keputusan atau sesuatu keputusan atau sesuatu ketetapan.Manya didasarkan pada duulohupa para pemangku adat.Karanya perlu dipikirkan .Dan lembaga pemangku adat itupun perlu diformalkan.
        Pohutu penobatan sebagai salah satu upacara adat yang melaksanakan sekarang ialah dalam pengertian(b)yakni dalam hal pemberian (penanugrahan)titel atau gelar jabatan .Dalam tata upacara adat di kenal dengan istilah momulanga .Di sini tidak digunakan istilah mongohi pulanga karena istilah mongohi pulanga  tidak cocok digunakan untuk sekarang ini.Pada waktu dahulu ada pejabat yang mohialio pulanga (diberikan pulanga) dan adapula ta pulangalio.Perbedaannya ialah kalau wohialio pilanga  maksudnya para pemangku adat terpaksa memberikan pulanga karena adanya tekanan-tekanan pada hal pejabat yang bersangkutan belum memenuhi syarat terutama mengenai pahawa,sedangkan momulanga maksudnya pejabat yang di berikan pulanga memang benar-benar berhak untuk diberi pulanga karana telah memenuhi syarat.Di sini inisiatif memberikan pulanga datangnya dari pemangku adat sendiri.
          Pulanga diberikan kepada seseorang pejabat dalam lingkungan pemerintahan mulai dari Bupati/Walikota Kepada Daerah,Wedana / Jogugu (Pembantu Bupati), Kadli,Wuloa Lo Lipu (Marsaoleh,Camat) dan Udula’a (Kepala Kampung,Kepala Desa,Lurah).
        Tempat pelaksanaan upacaranya tidak mengalami perubahan,yaitu di yiladia pilo tomelea lo olongia (istana). Kecuali untuk suwawa dilaksanakan to tihi da’a (masjid jami kecamatan). Yang dimaksud dengan istana ialah rumah dinass tempat tinggal pejabat yang bersangkutan atau rumah pribadi. Untuk udula’a dapat dilaksanakan dirumahnya atau di masjid. Untuk imam biasanya di masjid kecamatan.
        Tetapi karena keadaan yiladia yang ada sekarang pada umumnya di buat belum disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan pohutu, pelaksanaan pohutu tidak lengkap atau tidak sempurna ( diila motoinuto). Terutama yang menyangkut bulita to huhulo’a lo’u lipu (cara pengaturan tempat duduk menurut adat). Ini perlu pula dipikirkan agar pelaksanaannya sesuai penggarisan.
3.2. Hakekat / Makna Penobatan
        Setiap pelaksanaan kegiatan pasti mempunyai tujuan yan tertentu. Apalagi dalam upacara adat seperti Pohutu umpanya. Malahan setiap o’oliyo’o (gerakan) anggota badan dalam upacara adat mempunyai makna atau hakekat tertentu. O’oliyo’oo itu begitu mendalam maknanya sehingga sulit untuk dihayati/ditafsirkan oleh orang awam apalagi orang luar. Oleh karena itu sudah pada tempatnyalah kalau adat istiadat sebagai peninggalan nenek moyang kita itu di gali. Tidak saja sekedar untuk digali dan perkelkan kepada generasi penerus, tetapi dibina dan dikembangkan untuk memperkaya budaya nasional. Lebih dari itu dapat di gunakan untuk menunjang percepatan pelaksanaan pembangunan. Sehubungan dengan itu pula sangat penting dalam rangka membangun/membina ketahanan nasional pada umumnya seperti yang tersirat dalam GBHN.
        Khususnya dalam hal pohutu penobatan pemberian pelanggan bagi seseorang pejabat, maknanya sangat mendalam dan penting artinya. Penting bagi yang bersangkutan, juga bagi masyarakat dan kelestarian adat itu sendiri. Pemberian pelanggan itu mengandung tanggung jawab yang cukup berat bagi yang bersangkutan dalam rangka melaksanakan tugas. Tanggung jawab itu berat tidak saja pada masyakat dalam hal ini menyangkut urusan dunia, tetapi lebih dari pada itu tanggung jawab pada tuhan. Apalagi pada waktu dahulu dimana Olongia atau wulea lo lipu mempunyai kekuasaan yang cukup luas seperti ternyata dalam tuja’i (sajak) di bawah ini
        Taluhu,taluhu ito eya                         Air, milik paduka Tuan
        Tulu, tulu lo ito eya                                      Api, milik paduka Tuan
        Huta. Huta lo ito eya                          Tanah, milik paduka Tuan
        Dupoto, dupoto lo ito eya                             Angin, milik paduka Tuan
        Tawu, tawu lo ito eya                         Rakyat, milik paduka Tuan
        Dari tuja’i ini dapat dibayangkan betapa luasnya kekuasaan olongia/wulea lo lipu itu. Seluruh isi kerajaan termasuk di dalamnya tuango lipu ( penduduk ) tunduk dan berada di bawah kekuasaannya. Konsep kekuasaan seperti ini yang dalam kalangan adat di sebut dengan istilah datahu lo hu’idu ( dataran menjunjung gunung). Maksudnya semuanya tunduk dibawa kekuasaannya. Kekuasaannya tidak terbatas ( otoriter ). Semua keputusannya mutlak. Dibenarkan dan dibenarkan oleh adat. Pada masa kekuasaan raja Eyato (Ta tosalongi) 1566 konsep seperti ini mengalami perubahan yakni menjadi hu’idu lo huntu datahu (gunung menjunjung daratan). Disuwawa dikenal dengan bi’ide no guntu no datango. Menurut konsep ini tuango lipu yang memegang kekuasaan melalui wakil-wakilnya sebagai anggota bantayo pobo’ide. Olongia sebagai pelaksana keputusan bantayo pobo’ide. Jadi benar-benar demokratis. Sama halnya dengan sistim pemerintahan negara kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Disini sebenarnya hakekat penobatan dalam pengertian (a) seperti disebutkan diatas. Olongia sebagai Pemimpin eksekutif menjalankan semua keputusan bantayo pobo’ide sebagai badan legislatif untuk molamahu bu’ala (mencapai kesejahteraan masyarakat).
        Dengan masuknya agama Islam pada pertengahan abad ke-16 oleh raja motolodula yang kemudian di akui sebagai agama resmi lo’u lipu tepatnya pada 1566, maka adat istiadatpun dimasuki dan dipengaruhi unsur keislaman. Kedudukan adat menjadi lebih kuat dan lebih disempurnakan. Ingat ucapan orang tua-tua : aadati ai-ainitila to syara’a, syara’a hula-hula’a to kuru’ani (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah).
Dengan demikian makna adat itu semakin mendalam karena suda menyangkut masalah keyakinan tuango Lipu.Kekuatan Olongia yang sebelumnya cukup luas mengalami perubahan dan penyesuaian.Olangia dan tuango lipu menyakini adanya kekuasaan Tuhan yang mengatasi kekuasaan manusia.Dari segi ini dapat dilihat pembatasan kekuasaan Olongia pada akhir tuja’i di atas yang berbunyi : Bo diila polulia hilaa lo ito Eeyanggu (jangan diturutkan pada nafsu paduka tuan).
          Khusus makna pohutu penobatan dalam rangka momulanga dapat dilihat dari beberapa segi yaitu :
a. adat ;
b. taa tombuluwo (yang diberikan pulanga) ;
c. tuango Lipu (masyarakat) ;
3.2.1 Dari Segi Adat
          Seperti dikatakan diatas,bahwa adat itu dipertahankan secara turun temurun oleh pendukungnya.Tetapi walaupun demikian dengan adanya tiimali’a lo dunia wau taanngio ( perubahan dunia dan isinya )akibat perkembangan zaman dan kemajuan pembangunan tentu akan mempengaruhi adat itu sendiri.Adat istiadat itu berkembang sesuai perkambangan masyarakat pendukungnya.Sebab kalau tidak demikian adat itu akan kertinggalan zaman,karenanya sulit untuk diterima oleh generasi berikutnya.Pada saat itulah adat itu mulai menghilang.Hal ini menuntut kesediaan pendukungnya untuk dapat memberikan kelenggaran guna mengadakan penyesuaian yang perlu tanpa mengurangi hakekat adat itu sendiri.Dan memang demikianlah yang terjadi dalam adat daerah Gorontalo.Faktor keluwesan ini menjadikan adat Gorontalo tidak pernah ketinggalan zaman.Sebagai contoh misalnya pada waktu dahulu kalau seorang tuango lipu bertemu dengan ologia atau Wulea lo lipu,harus menurunkan sarung dari bahunya sampai setinggi pinggang dan membukukan badan.Dan kalau menunggang kuda harus turun dan molubo (menyembah).Untuk sekarang ini tuango tidak lagi menggunakan palipa (sarung) disamping pakaiannya karena kubang praktis lagi.Akibat perkembangan pengetahuan manusia dengan teknologi orang menggunakan kenderaan yang lebih cepat dari kuda, mobil misalnya. Bagaimana nantinya kalau kita berada didalam mobil tiap kali bertemu dengan seorang pejabat dan harus turun,sekedar untuk memberikan penghormatan karena kekuatan adat.Ini bukan saja tidak praktis,tetapi akan merupakan penghambat,kalau tidak dapat dikatakan bertentangan dengan akselerasi pembangunan. Karena itulah hal yang demikian tidak berlaku lagi. Sekarang cukup menggunakan kepala tanda memberikan hormat.Penyesuain tidak berarti menghilangkan maknanya.Malahan dengan demikian makna itu tetap dihayati oleh pendukungnya turun temurun.
          Apabilah seorang pejabat yang telah berhak menerima pulanga dan hal tersebut diperlakukan kepadanya berarti mendudukan yang bersangkutan pada huhulo’a le aadati (kedudukan adat). Dengan kedukannya pada huhulo’a le aadati berarti pula yang bersangkutan menjadi ta’uwa lo aadati (kepala adat).Dengan perkataan lain adat itu secara resmi tersimpan kepadanya  (taahua lo aadati).Hal ini akan mempunyai dampak positif terhadap kelangsungan hidup adat tersebut.
Adat tersebut akan tetap lestari karena mendapat perlindungan dan tuango lipu menganggapnya adat itu tersimpan pada pejabat yang bersangkutan ,sebab betapapun usaha pemangku adat tanpa perlindungan dari ta’uwa lo aadati sebagai pemegang kekuasaan maka usaha pelestarian adat itu menjadi sia-sia.Pendapat seperti itu berkembang dikalangan pemangku adat pada umumnya.Ini perlu di hayati oleh tombuluwo atau pemegang kekuasaan pemerintah umumnya.
3.2.2 Dari Segi Tombuluwo
          Seorang pejabat yang telah dinobatkan berarti telah memperoleh kedudukan dalam adat.Suatu kedudukan yang tinggi dikalangan tuango lipu. Tuango lipu yang pada umumnya menghargai adat akan memandang dan memuliahkan kepadanya.Dengan perkataan lain yang bersangkutanmenjadi mulia dalam adat dan sekaligus mulia dikalangan tuango lipu.Semua orang menghormatinya.Dalam semua pertemuan misalnya dalam huhutu (pesta) dibuatkan tempat duduk yang tersendiri sesuai dengan martabatnya.Semua kegiatan dalam huhutu itu dilaporkan dan setelah mendapat persetujuan dari padanya barulah dilaksanakan.
          Keadaan yang demikian itu akan memudahkan tommbulawo dalam melakukan missionnya untuk molimehu buala.Mudanya pelaksanaan mission ini karena semua tuango lipu menghargai dan memberikan kepercayaan kepadanya.Jadi pohutu momulanga akan memberikan kekuataan atau kewibawaan untuk menjalankan tugasnya.Ini berarti mempunyai dampak positif dan memperbesar parsitipasi tuango lipu untuk melaksanakan pembangunan.
Hal ini jelas dari tuja’i yang berbunyi :

                   Bangusa taalalo                       Keturunan eijaga
                   Lipu poduulawalo                             Negara dibela
                   Harata potombulu                            Harta dibelanjakan ( di jalan Allah )
                   Batanga pomaya                     Tenaga diamalkan.
                   Nyawa podungalo                             Jiwa di korbankan (untuk kepentingan
                                                                   umum)
          Kalau di resapkan secara mendalam betapa tingginya nilai makna kelima baris tuja’i di atas. Suatu pengungkapan atau peryataan perasaan dan ikhlas.Kesediaan berkorban harta tenaga dan jiwa dari tuango lipu untuk membangun negara dibawa kepempinan tombuluwo.Sebagai bukti keikhlasan itu misalnya para pemangku adat ,walaupun tidak mempunyai jaminan hidup dalam melaksanakan tugasnya mereka tetap dengan patut mengerjakanya. Masalahnya sekarang bagaimana dengan seorang pejabat yang berhak tetapi tidak pernah/atau ditetapkan pemberian pulanga kepadanya?
3.2.3 Dari segi tuango Lipu./diupacarakan
          Tuango lipu sejak lama mempertahankan dan memelihara adat istiadat sebagai peningalan para leluhur.Adat istiadat itu sejak dahulu telah merupakan sesuatu milik tuango lipu.Karena itu tuango berusaha melalui wakil-wakilnya di bidang adat yakni baate dan wu’u serta perangkatnya,apabila seseorang pejabat telah memenuhi syarat untuk memperoleh pulanga,segera diadakan upacaranya.Usaha seperti ini wajar kalau memperoleh sambutan dari yang bersangkutan.Memang bagi tombuluwo hal ini berat.Berat bukan karna masalah upacaranya yang memerlukan biaya dan sebagainya.Atau bukan karena memerlukan waktu yang lama untuk mempersiapkannya.Tetapi karena pemberian pulanga,itu merupakan suatu tanggung jawab yang berat. Tanggung jawab terhadap tuango lipu dan Tuhan sesuai bunyi sumpah/janji pada waktu menerima pulanga.
          Sebaliknya tuango lipu sangat mendambakan hal tersebut.Tersirat didalamnya keinginan tuango lipu agar tombuluwo akan lebih meningkatkan pengabdiannya untuk molimehu buala.Keadaan yang demikian yang mengandung makna keinginan yang sama dari dua belah pihak  untuk mencapai satu tujuan,Bagi tombuluwo hal ini memang tugas dan tanggung jawaban untuk membawa warganya kepada tujuan yang telah digariskan sebagai dengan sumpah jabatannya.
3.3.Pelo’utia Memulanga (beberapa faktor yang berhubungan dengan pemberian titel jabatan).
          Yang dimaksud dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pohutu memulanga disini ialah : (a) yang berhak diberikan pulanga, (b) waktu, (c) tempat, (d) pelaksanaan,dan  (e) perlengkapan yang diperlukan.Dalam suatu pohutu segalah sesuatunya,baik menyangkut kapa sesuatu pohutu dilaksanakan,dimana tempatnya,siapa yang bertanggung jawab sebagai pelaksana dan perlengkapan apa saja yang perlu dipersiapkan telah ada pengarisan-pengarisannya dalam adat.Hal ini jelas dari panggalan tuja’i seperti yang disebutkan terlebihdahulu sebagai berikut :
          Maa dili-dilito
          Bolo mopo’aito
          Maa hunti-huntingo
          Bolo mopodembingo
          Jawaban semua peryataan diatas tentunya perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi,dimana pohutu tersebut dilaksanakan.
3.3.1. yang berhak diberikan pulanga
          Pada waktu suwawa,Limutu,Mulontale dan wilayah-wilayah lainnya masih berbentuk kerajaan,maka terutama berhak dipilih menjadi elongia ialah turunan olongia.Jadi hanya turunan raja berhak menjadi raja.Ditinjau dari segi adat istiadat maksudnya ialah agar tata adat itu tidak akan mengalamip perubahan.Tetepi walaupun demikian karena penentuan elongia itu setelah penerafan/hu’ide lo-huntu datahu atau bi’ide menguntu no datage (suwawa),melalui pemilihan,maka hal ini mungkin tidak setiap turun olongia mudah terpilih.Dengan perkataan lain membuka kemungkinan kepada mereka yang bukan ketutunan olongia harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu.Jelasnya seorang ealon yang dapat dipilih menjadi olongia/Wulea lipu harus memenuhi 3 persyaratan pokok ialah :
(a).Keturunan, (b).Pendidikan,dan (c) Pahawo (perangai)
          Walaupun persyaratan (a) pada waktu dahulu sebelum kekuasaan raja Eyato menjadi titik perhatian utelia (wakil rakyat)dalam bantayo pobo’ide,namun bukan berarti persyaratan lainnya tidak menentukan.Tetapi Eyato menjadi raja ia lebih menekankan syarat pendidikan dan budi pekerti (Perangai)dalam pengankatan pejabat dalam seluruh bidang pemerintahaan. Hal mana ditentang oleh ras oleh para mengo pulu (bangsawan) yang merasa dirinya berhak menjadi calon tetapi tidak dapat bertanggung jawabkan dalam kedua bidang yang dituntut oleh Eyato.Misalnya pengankatan bagi seorang imam,tidak sama sekali dilandaskan kepada keturunannya lagi,hanya kepada pendidikan, budi pekerti yang baik,amal baktinya.Tetapi kaum mengopulu berkeberatan,karena imam biasanya harus naik mimbar,sedangkan mimbar berada di atas kepala para mangopulu.
          Eyato dalam mempertahankan syarat-syarat itu meminta kepada bantayo pobo’ide bersidang.Keputusan sidang menetapkan bahwa syarat ketentuan harus juga dianut baik garis lurus,maupun menyimpang dan di tamba dgn beberapa persyaratan lain yakni : (a) mo dungga boli opaduma ( berpendidikan bijaksana serta berpandirian teguh ), (b) o agama wau ahlaki molanggate (beragama dan berahlak tinggi),(c) totolohu ohulalo ( tahu mengendali diri serta tahu menggunakan kekuasaan ), (d)moponu waumolaalo (kasih sayang kepada rakyat ), (e) to wongo wau huato (tahu menjalankan hukum),dari (f),manasa (janten) yakni berani bertindak,berani menghadapi segala tantangan,berani berperang terdepan sekali dari bala tentaranya.Persyaratan diatas diperlakukan secara terpadu kepada seorang calon. Dengan demikian walaupun seirang yang termasuk pada golongan mengopulu bila (bangsawan,turunan raja ) tetapi ia tidak berpendidikan atau tidak manpu  (menjalankan fungsinya),maka dapat dipastikan sulit untuk terpilih.Hal ini memberikan peluang kepada wali-wali mowali untuk dicalonkan .Suatu kenyataan pada waktu itu bahwa kebanyakan mengopulu bila sangat ketinggalan di bidang pendidikan.
                   Persyaratan itu diterapkan dengan ketat karena faham pemerintahan adalah demokrasi.
        Kedudukan olongia/Wulea lo lipu bukanlah sekedar sebagai lambang tetapi benar-benar terletak ditangannya berhasil tidaknya tujuan molimehu bu’alo sebagai tujuan akhir pemerintahan.
        Dalam perkembangannya apalagi dewasa ini maka faktor yang paling menentukan ialah persyaratan (b) dan (c). Persyaratan (c) yakni bahwa bagi seorang calon sangat menentukan,karena menjadi pusat perhatian lipu pada zaman daulu karena perkembangan pendidikan masih sangat jauh ketinggalan di bandingkan dengan sekarang jadi lebih banyak di lihat dari segi pengalaman maka masalah pahawe sangat mentukan pengertian pahawe dalam tata adat dalam artinya atau maknanya,pahawe tidak saja menyangkut kelakuan atau tabeat.Tetapi lebih luas dari pada itu.Yakni menyangkut budi pekerti tindak tanduknya dalam masyarakat dalam arti yang luas.Menurut S.R.Nur SII pahawe dalam pendidikan merupakan persyaratan yang sangat dominan (1979 : 113 ).
          Sebagai ilustrasi  betapa pentingnya pahawe ini diperlakukan misalnya pada waktu pencalonan raja Gorontalo yang bernama Bulalonawa.Karena pahawenya dinilai kurang memenuhi syarat ditolak oleh  Bantayo pobo’ide untuk menjadi olongia.Pada hal dari segi keturunan/darah bulalonawa adalah bangsawan penuh.Dan pada waktu itu ia termasuk mongopulu bila to booela ( Bangsawan yang memegang suatu jabatan ).
          Di samping olongia, Wulea lo lipu dan udula’a dari golongan bua tulo bubato yang berhak pohutu momulanga atau berhak diberikan pulanga,masi ada ?bilulo’a ( jabatan kedudukan )yang juga berhak. Kedua bilulo’a tersebut ialah buatulo bantayo ( baate ) dan buahtulo bala yakni pulubala (apitalau ). Tapi setelah buatulo bala dalam perkembangan kemudian dimasukan dalam golongan buatulo  bubato dan setelah Agama Islam diakui sebagai agama resmi lo’u lipu,maka sebagai panggangnya ialah buatulo buto’o syara’a ( golengan pemegang hukum agama Islam ).Seperti dikatakan diatas ketiga golongan inilah yang disebut buatulo totolu atau buatulo tuwoloongo (3 ubas tali ).
          Kenyataan yang ada sekarang ini pohutu momulanga hanya dilaksakan kepada huhulo’a le Bupati/Walikota Kepala Daerah san Camat.Juga karena adanya penyesuaian dan kelonggaran adat pulanga juga di berikan kepada wali-wali  mowali putera daerah yang menduduki jabatan tinggi kenegaraan (menteri). Pada hulolo’a lainnya misalnya dula’a yang langsung berhadapan dengan tuango lipu bila dihubungkan dengan makna pohutu momulanga atau pulanga itu sendiri sebenarnya peranannya besar.Jabatan tersebut hanya dilaksakan melalui pelantikan kenegaraan berdasarkan keputusan yang berwenang.Tidak diikuti penobatan secara adat.Seperti telah diuraikan hal ini mempunyai dampak positif bagi tumbuluwo tuango lipu untuk menunjang pelaksanaan pembangunan atau molimehu buala didesanya.Disamping dari pada itu tuango lipu memandang jabatan kampung atau kepala desa adalah juga jabatan yang tidak lepas adat.Karena itu untuk menambah kepercayaan rakyat kepadanya perlu dikukuhkan dengan pulanga,tentunya setelah memenuhi syarat untuk itu.Apalagi sesuai ketentuan peraturan yang berlaku tiap-tiap desa memiliki LKMD yang diangkat oleh tokoh masyarakat,toko agama dan toko adat.Perlu ditambahkan pada beberapa desa tertentu pada pulanga disamping nama desa misalnya sepert di limboto.Tapi pada umumnya nama pulanga itu mengikuti nama Kampung/Desanya.
          Pada bagian 3.1 telah di uraikan bahwa pengertian pohutu penobatan seperti yang berlaku dahulu ialah (a) penobatan atau pelantikan menjadi raja/Camat,dan (b) pemberian gelar .Jelas upacaranya terpisah atau dilaksanakan didalam dua peristiwa.Dihu bungkan dengan pelaksanaan sekarang yaitu penobatan dalam pengertian pelantikan kenegaraan pelaksanaan tidak bersamaan dengan pohutu momulanga.Kecuali kalau ada keputusan lain dari para pemangku adat.Ini merupakan suatu kebijaksanaan sebagai hasil duulohupa (musyawarah)pemangku adat,untuk segerah memberikan pulanga walaupun yang demikian itu tidak lumrah dalam adat,tetapi dari segi lain akan merupakan dorongan kepada tembuluwo untuk bekerja keras.Jadi kejaksanaan ini akan merupakan pendorong.
          Pelaksanaan kedua pohutu itu pada waktu yang sama,karena setelah diadakan penobatan tombuluwo,apakah yang bersangkutan berhak diberikan pulanga atau tidak.Yang bersangkutan perlu diadakan tili’i/ilalo (penilaian).Masalahnya sekarang siapakah yang berhak untuk melakukan tiili’i atau ilalo tersebut.Kalau pada waktu dahulu yang bertugas untuk itu ialah para baate itu malah lebih banyak lebih dahulu .Dahulu hanya ada 4 orang Baate dan seorang wu’u.Kini setiap kecamatan ada baate.Hanya sayangnya tidak satupun dari yang banyak itu memiliki Bantayo.
Tetapi yang jelas fungsinya tidak seperti dahulu lagi.Baate sebagai pemangku adat sekaligus sebagai toko masyarakat merupakan salah satu unsur yang dapat melaksanakan fungsi tersebut.Hasil tiili’i/ilalo para pemangku adat dipadukan dengan penilain pihak-pihak lain yang berkempetan.Hasilnya lalu dimusyawarakan bersama.Untuk hal tersebut perlu dibentuk satu lembaga  adat yang diangotai oleh para pejabat dan pemangku adat yang berasal dari buatulah towuloongow lembaga adat ini bertugas selain dari pada memberikan penilaian terhadap seorang pejabat yang akan diberikan pulanga dan gara’i juga bertanggung jawab atas kelestarian pelaksanaan adat.
          Tiili’i atau ilalo memerlukan suatu proses waktu yang tertentu,sampai diyakini dari segi adat,bahwa sudah saatnya yang bersangkutan untuk diberikan pulanga.Beberapa lama waktu yang diperlukan untuk menentukannya,dalam adat tidak ada suatu patokan yang pasti.Sebagian dari pemangku adat mengemukakan paling kurang 3 bulan/relatif terlalu singkat untuk menilai apakah seseorang telah memperlihatkan ilomata (karya).Kenyataan ada juga wulea lo lipu yang selama menjabat tidak pernah memperoleh pulanga.Kalu terjadi keadaan yang demikian sebabnya.Misalnya kesulitan teknis pelaksanaan,biaya,waktu dan lain-lain.Sari hasil wawancara dengan pemangku adat ada wulea lo lipu yang benar-benar tidak bersedia diberikan pulanga karena pertimbangan yang bersifat pribadi.
Terutama bagi pejabat yang telah dinilai memenuhi syarat untuk diberikan pulanga.
          Perlunya pemberian waktu untuk menetapkan apa seorang pejabat yang menurut adat berhak untuj diberikan pulanga adalah sangat mendasar. Kebijaksanaan dan ketelitian sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi bahwa seseorang yang telah diberikan pulanga,karena satu dan lain hal tidak sesuai dengan martabet pulanga yang diberikan kepadanya.Bila terjadi yang demikian ini merupakan aib dan modal adat.Tetapi sebaliknya pula dari penuturan para pemangku adat perna terjadi kepada seseorang pejabat yang di berikan pulanga sesuai perangainya yang dinilai kurang oleh para pemangku adat di tempat itu.
          Beberapa hal yang perlu mendapat tiili’i/ilalo antara lain ialah :
a. pahawo
b. o’olio’o dalam kegiatan pelaksanaan (i) buta’o syara’a (hukum agama) dan (ii)metolowu’udu (melaksanakan ketentuan adat);
c. motonggolipu (melaksanakan pemerintahan);
d. motolongaala’a wolo tuango lipu (bermasyarakat);
e. ilomata (karya)
          Dari kelima hal yang sebutkan di atas maka (a), (b) dan (c) yang banyak terdapat perhatikan sebab ketiga hal ini menjiwai kedua hal lainnya.Singkatnya gerak gerik dan tingka lakunya dalam beragama,beradat,berpemerintahan dan bermasyakat.Apabila seorang telah di nilai dan sudah waktunya untuk diberikan pulanga sudah hampir dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan pada waktu itu telah memiliki ilomata atau maa ilomata (karya)
3.3.3 Tempat pohutu momulanga
          Telah diuraikan bahwa yang berhak memilih atau mengangkat olongia/wulea lo lipu dahulu ialah wakil-wakil rakyat yang tergabung dalam bantayo pobo’ide yang diketahui oleh baate.Ini sesuai dengan pahan hu’idu mohuntu datahu,istilah bantayo pobo’ide berasal dari bantayo (gedung)dan boidu moboide,(barbieara).Bantayo pobo’ide tempat berbicara.Jadi dapat di sejajarkan dengan pengertian parlemen.
Ada dua jenis Bantayo pobo’ide yaitu :
a.bantayo pobo’ide lo’u lipu (kerajaan)dan
b.bantayo pobo’ide lo limula (negeri)
          Tugas utama dari bantayo pobo’ide ialah menetapkan wu’udu (adat)dan bubalata atau buto’o (hukum.aturan).Azas yang dipegang ialah moduulohupa ode heeluma(masyarakat untuk mufakat).Kebulatan suara untuk mengambil suatu keputusan menjadi syarat mutlak.Hasil keputusan itu menjadi pedouma (pedoman)bagi olongia/wulea lo lipu.Menurut S.R.Nur,SH bantayo pobo’ide itu demikian teratur dan mempunyai wu’udu huhulo’a(tata tertib)yang terdiri dari 5 ketentuan dasar (1979 ; 136)yaitu  (a)bulita (anyaman) yang mengatur hak dan kewajiban anggota (b) balata (bilah)pembagian tugas ,(c)boluta (urutan)yakni cara melaksanakan hak(d) buulota (pergantian)yang berhubungan degan kehadiran orang luar.
          Selajutnya S.R.Nur,SH Menjelaskan bahwa ketentuan yang berlaku bantayo pobo’ide ini terdapat pada tuja’I sebagai berikut.
          Balata dia to bulita                           penggalapanggal yang tidak teranyam
          Molopate melonggito              Terlepas dan jatuh
          Bulita dia to balate                            Anyaman yang tidak pada panggal
          Talohu hilopata                       Balak-balak terlepas terlepas
          Untuk mengingatkan semua wa’udu dan bubalata sebagai produk bantayo pobo’ide dilaksanakan oleh Sikili(sekretaris).Semua kepusan itu tidak tertulis,tetapi ditampung dalam bentuk tuja’i dan karenanya mudah diingat dan dihafal oleh sikili dan baate sebagai ketua Bentayo dan pobo’ide.Dan itulah yang kita warisi sekarang.
          Sengaja dalam tulisan ini bentayo pobo’ide dibicarakan agak luas untuk menganbarkan betapa sistim pemerintahan di Daerah ini pada zaman dahulu.Hal ini pula ada hubungannya dengan pohutu penobatan dengan pengertian pelantikan dan pemberian pulanga.Disamping tugas bantayo pobo’ide seperti disebutkan diatas,maka juga bertugas (a) mendampigi dan mengawasi pemerintahan (bandingkan dengan Undang-Undang No.5 tahun 1974 ), (b)  menggugat olongia .
          Tempat bantayo pobo’ide berhadapan dengan yiladia.Letaknya yang demikian itu untuk memudahkan pelaksanaan semua upacara pohutu yang menurut ketentuan yang dilaksanakan di tempat itu.
          Berhubung Bantayo pobo’ide fungsi dan peranannya telah diatur dan ditetapkan oleh peraturan dalam bentuk lain,maka yang perlu dipikirkan ialah suatu tempat lain yang dapat di jadikan tempat untuk melaksanakan pohutu momulanga dan kegiatan adat lainnya.
Tidak saja pohutu momulanga tetapi juga semua kegiatan lainnya yang bersangkut paut dengan pelestarian kebudayaan daerah.Sekaligus berfungsi sebagai museum . Tempat itu ialah yiladia yang berfungsi untuk hal-hal yang disebutkan di atas dan bukan sebagai tempat tinggal (rumah dinas).
          Pembangunan yiladia itu harus dibuat sedemikian rupa dan memperlihatkan unsur-unsur asli kebudayaan daerah.Bangunan tersebut sesuai dengan informan penampangnya sebagai sangsi ternyata dibawa ini tersebut keterangan.
3.3.4 Pelaksana
          Dalam upacara adat puhutu momutanga para pelaksanaannya suda ditetapkan menurut ketentuan adat sifatnya permanen.
Para pelaksana ialah :
a.buatulo bantayo ( Baate dan perangkatnya ):
b.buatalo bantayo ( kadhi dan perangkatnya ) ;
c.buatalo bala.
          Perangkat adat tersebut dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh wali-wali mowali dan panggola lo’u lipu . Setiap perangkat pemangku adat itu dipimpin oleh seorang ketua yakni (a)  Baate atau wu’u (b) kadli dan (c) Apitalau, lengkap dengan perangkatnya masing-masing.Setiap perangkat itu mempunyai tugas dan fungsi sediri dalam lingkungannya.
3.3.4.1 Perangkat Bantayo ( perangkat bubato )
          Sebenarnya dalam perangkat bantayo termasuk didalamnya pejabat pemerintah seperti olangia wulea lo lipu.Tetapi disini jabatan tersebut ditempatkan sebagai tombuluwo.
          Perangkat bubato dalam melaksanakan tugasnya dipimpin oleh baate.Jabatan ini suwawa disebut wu’u .Perangkatnya terdiri dari para kepala kampung yang telah memiliki pulanga.Kecuali di limboto disamping baate sebagai ketua sebagai jabatan kimalaha.
          Kecamatan suwawa pada waktu lalu tempat kedudukan jogugu atau wedana yang mewilayahi beberapa kecamatan lllainnya.Karenanya kedudukan wu’u menjadi sangat penting bagi kepalah Adat.
Ada 3 orang wu’u yang berbeda yang dilihat dari segi fungsinya dalam adat yaitu :
a. Wu’u banato atau pidodotiya yang bertugas menentukan jalannya upacara pohutu.Yang mengatur acara Wali-wali momali ;
b. Wu’u pamaguwe atau wituhiya yang bertugas mengatur tempat duduk tamu berdasarkan fungsi dan jabatannya ;
c.Wu’u landa’a yang bertugas menjemput tamu dari tangga.



 








































        Yang dimaksudkan dengan tugas wu’u seperti diatas ialah sebagai koordinator sebagai.Sebab yang melaksanakan pekerjaan adalah tuango lipu,dipimpin oleh kepalah kampung.
        Pembagian tugas seperti diatas terdapat pula dikecamatan lainnya.Dibawah ini akan dikemukakan pembagian tugas dari beberapa kecamatan.Misalnya dikecamatan Limboto. Hanya bedanya dengan kecamatan lain seperti di katakan di atas di samping baate terdapat jabatan lain ialah kimalaha sebanyak 4 orang. Masing-masing kimalaha itu memiliki pulanga sendiri yaitu (a) Hungayo, (b)dunito, (c)Ipilo, dan (d)Tutunggio sebagai orang kedua dan sewaktu-waktu menggantikan baate kalau berhalangan.
        Anggota perangkat lainnya ialah 20 Kepala kampung yang telah memiliki pulanga. Terbagi atas (a)mopulu to olowala (sepuluh dikanan) dan (b)mopulu to oloyihi (sepuluh dikiri). Perinciannya sekaligus fungsinya sebagai berikut.
        Mopulu to olowala
1.  Molowahu    : mengintip, menilai ;
2.  Limehe                   : mengundang makan dan menyediakan tilolo ;
3.  Bubode                   : menyediakan tiihuto (sedekah) ;
                   menyediakan perlenkapan istana
4.  BiU               : menyediakan bahan di luar istana  ;
5.  Luwohu        : menghidangkan santapan ;
6.  Lamu            : menyediakan tiihuto ;
                   Mongatur huhulo’a lo bulita ;
7.     Lologato     : melaksanakan musyawarah ;
8.     Bionga        : melayani tamu ;
9.     Bulota         : mengjidangkan minuman ;
10.                        Luwodu      : menyiapkan bahan dari luar istana ;
                     Menghidangkan santapan.
Mopulu to oloyihi
1.  Pentadio      : mennilai pekerjaan dari tempat yang agak jauh ;
                               Penanggung jawab urusan belakang ;
2.  Wontipo     : mengembalikan peralatan adat/mengangkatnya ketempat
                               Semula
3.  Dumo’oto   : mengembalikan alat tempat minuman ;
4.  Motoduto    : mempersiapkan adat istiadat yang di perlukan sesuai ketentuan
5.  Baangio      : mempersiapkan alas duduk huhulo’a lo bulita ;
6.  Tumbu’o     : menerima tamu ;
7.  Bulila          : mengatur tempat santap ;]
8.  Tilalohe       : mengatur tempat santap ;]
9.  Be’ungo      : mengatur adat istiadat ;
10.      Helingo    : bertanggung jawab urusan belakang
Dikecamatan tapa, tugas kepala kampung pelaksanaan adat sebagai berikut.

No.
Kepala Desa
Bidang Tugas
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.
10.

11.



12.


13.
Talulubutu
Talumopatu
Langge
Longalo
Bandungan

Owata
Ayula
Dunggala
Boidu
Huntu

Mongi’ilo



Tupa


Bulotalagi
Taluhu Lobutu (pilo butuwa) = yang ampunya gagasan
Taluhu Mopatu = Ta patu ma’a patu maa to karaja
Langge Tiloyonga = turut berusaha
Olo-olongalo = koordinator
Bololango = momalu peenu bo ngolango (turut berparsitipasi walaupun tidak memenuhi selera)
Aawota = turut memperhatikan
Ayu-ayulo = tak perlu bersusah-susah
Ta dungga-dunggalo (pengumpu/menyimpan)
Poboboide lo’u lipu = tempat bermusyawarah
Huntu-huntuwa/hunto-huntengo (lokasi tempat perumusan segala sesuatu yang belum sempurna.
pilongi’ilo ( seseorang Raja yang dalam perjalanan tiba tiba sakit kepala kemudian pilongi’ila leyo meelito dan bahan – bahan lain sebagai obat.Tugasnya adalah mengamati / atau menjaga makanan dan minuman dari racun.
bolongotupa ( waktu Bolango lo monggato tawu bolongotupa lo ma’o ), tugasnya  mengontrol kehadiran dan keamanan para tamu.
Tugasnya menjaga keselamatan Olongyia dan  para tamu pada acara pesta adat.  
        

Dikecamatan Telaga pembagian tugas oleh kepala  Kampung dalam Pulanga sebagai berikut : 
              1.    Bulila            :    Mopobulito lo’ulipu ( mengatur rakyat ).
              2.    Luhu             :    Motoloimato artinya ( memata – matai ).
              3.    Pantungo       :    ( Baate lo Hulontalo lo Talaga) artinya Baate                                     Gorontalo di Telaga.
              4.    Tuladenggi    :    Penilai ketepatan pelaksanaan adat.
              5.    Talumelito     :    Pengataur tempat duduk di bulita (to bulita).
              6.    Pentadio        :    To bulita penta-pentadu (mengamati jalannya                                    pelaksanaan adat).
              7.    Ulapato (A)   :    Tapata (wakil wu’u) tempat penerimaaan pejabat                                                    dari Gorontalo ke Limboto.
              8.    Dumati          :    Kedudukan lo Olongiya (tiyombu dari suwawa).
              9.    Pilohayanga  :    Ta to bulita (mengawasi huhulo’a lo adati).
              10.                        Mongolato  :    Kedudukan olongiya lo linula.
              11.                        Hulawa  :    Bonihu olongiya.
              12.                        Luwo’o  :    To bulita ( bertugas di istana ).
              13.                        Tenggela :    To bulita ( bertugas di istana ).
              14.                        Buhu      :    To bulita ( bertugas di istana ).
              15.                        Bulota    :    Taa mobulota,( pelaksana ).
              16.                        Hutada’a    :    To bulita ( bertugas di istana ).
              17. Bunggalo       :    To bulita ( bertugas di istana ).
              18.                        Ilotide’a :    Kedudukan Olongiya ( linula ).
              19.                        Tabumela    :    To bulita ( bertugas di istana ).
              20.                        Tilote     :    Wu’u.
              21.                        Tuwalango  :    To bulita ( bertugas di istana ).
              22.                        Dulomo  :    To bulita ( bertugas di istana ).
              23.                        Lauwonu    :    Kedudukan Olongiya ( linula ).
              24.                        Ulapato (B) :    To bulita ( bertugas di istana ).
              25.                        Dulamayo   :    To bulita ( bertugas di istana ).
     Berdasarkan pembagian tugas sebagaimana tersebut di atas, pemangku adat tidakperlu membentuk lagi suatu panitia pelaksana.Tetapi sesuai kenyataan sekarang pembentukan panitia itu dianggap penting untuk mendukung dan lebih menyempurnakan fungsi masing-masing perangkat di atas. Panitia yang di bentuk bukan bertugas sebagaimana pelaksana tata-cara adat. Panitia tersebut hanya mempersiapkan dan bekerja sama dengan pemangku adat dalam hal yang berhubungan dengan tata cara adat, memperlancar pelaksanaan sebelum dan sedang berlangsung, antara lain masalah biaya dan perlengkapan yang di butuhkan pada saat pelaksanaan po hutu.
     Pembagian tugas dan fungsi seperti disebutkan tadi berlaku bagi semua kecamatan.
     Dikecamatan paguat (kedudukan pembantu bupati wilyah IV) yang bertindak sebagai kepala adat ialah baate. Perbedaannya dengan kecamatan lain ialah tidak seluruh kepala kampung sebagai perangkatnya dalam pelaksanaan upacara adat.Dari 12 Kepala Kampung, hanya 6 ( enam ) orang sebagai perangkat adat. Yang lainnya, 2(dua) orang (Kepala Kampung  Ka’aruyan dan Karangetan, beragama Kristen, dan 4 ( empat Kepala Kampung yaitu Siduan, Sipayo, soqiuti dan bunyo). Di kenal sebagai Raja empat, tidak berkewajiban molubo            (menghatur sembah kepada Taa Tombuluwo. Sebagai gantinya mereka hanya memberikan salam dan jabatan tangan ). Pada waktu penelitian ini dilaksanakan kebetulan yang menjadi baate ialah kepala kampung bunuyo yang sebenarnya menurut ketentuan adat ini tidak boleh ini. Oleh karena menurut penilaian bahwa yang bersangkutan memiliki ketrampilan dan memenuhi syarat dan belum ada penggatinya, maka ketentuan adat terpaksa dilanggar. Berdasarkan kenyataan seperti ini maka sebaliknya penyambutan raga empat yang membedakannya dengan perangkat lainnya dibidang adat perlu dipikirkan. Dalam kenyataan pemerintah seluruh kepala-kepala kampung itu mempunyai fungsi yang sama. Oleh karenanya pembedaan dalam adat seperti diatas (kecuali kaaruyan dan karangetan yang beragama kristen) perlu dirobah dan ditinjau kembali.
3.3.4.2.  Perangkat Buto’o Sara’a
     Perangkat buto’o sara’a ialah perangkat yang bertanggung jawab di bidang agama. Perangkat ini melaksanakan acara dalam upacara adat yang berhubungan dengan keagamaan. Misalnya modu’a, mosaiya dan monasibu (suatu upacara yang dilagukan pada waktu Kadli atau Imam berdoa).
     Perangkat buto’o sara’a ini diketuai atau dipimpin oleh Kadli. Kadli merangkap beberapa kecamatan. Untuk kabupaten gorontalo ada empat orang Kadli sesuai dengan pembagian wilayah pembantu Bupati. Yaitu untuk wilayah kerja (a) Limboto, (b) kabila, (c) kwandang dan (d) paguat dan kotamadya Gorontalo hanya seorang Kadli yang mewilayahi 3 kecamatan.
              Perangkat buto’o sara’a anggotanya lebih banyak bilah dibandingkan dengan perangkat lainnya.Hal ini disebabkan tiap kampung memiliki petugas sendiri.Di tingkat kecamatan terdapat beberapa 4 orang imam yang mewilayahi beberapa kampung.Yang jadi ketuanya ialah salah seorang diantaranya.Susunan perangkat ini terjadi dari kadli,Moputi,Nakimu,Pantongo,Seehe,imam.Salada’a matibi,Bilale dan Kasisi.Tidak semua kecamatan perangkatnya lengkap.
              Dalam adat kedudukan perangkat buto’o sara’a terutama kadli dan imam sebagai pemegang buto’o agama (hukum agama) kedudukannya sangat penting sesuai dengan kedudukan adati ai aimitila to uru’ani. Dalam pelaksanaan pohutu momulanga kadli menjadi tempati bertanya dan poduulahupa (bermusyawarah) baik baate,Wali-wali moali maupun panggola lo’o lipu.
Kepada kadli dimaklumkan sesuatu kegiatan akan di mulai dan telah selesai.
3.3.4.3 Perangkat Bala ( keamanan dalam adat )
     Perangkat Bala (utas pagar) adalah penanggung jawab di bidang keamanan dalam pelaksanaan adat. Keanggotaan adat ini tersusun sebagai berikut :
          Apitalau (sebagai ketua),Mayulu Da’a, Mayulu lo Kadato,Mayulu lo yiladia, Ta’ulio,Ta’uwa lo pobuuwa,paaha,Wala’o Bala,Woto lo tuita,Mongopulu to bala dan wato timbalo. Sebagai penasehatnya ialah Telanga dan Wombua.Untuk sekarang ini jabatan-jabatan yang masi ada ialah (a) Apitalau, (b) Mayulu Da’a, (c) Mayulu dan (d) Paaha.
     Dalam pelaksanaan pohutu dahulu kedudukan Apitalau sebagai salah satu dari buatula totolu setingkat kedudukannya dengan kadli, tetapi sekarang mengalami kemunduran dan malah mendapat perhatian.Kedudukan ini semata-mata karena pengabdian dalam rangka pelestarian adat. Mereka tetap mempertahankan seperti apa yang disebutkan dalam tuja’i, batanga pomaya, nyawa podungalo. Oleh karenanya perlulah nasip mereka ini diperhatikan oleh yang berwenang, agar perangkat ini tidak akan menghilang pada suatu saat.
     Jabatan Apitalau (Kapitan Laut) timbul setelah pengaruh taernate. Kebetulan pada waktu yang sama kerajaan  gorontalo  menguasai beberapa teluk tomini. Dan untuk pengamanan terhadap gangguan bajak laut seperti mangginano (mindanau) dan tobelo, apitalau dan Ta’uwa lo suludadu yang difungsikan.
     Apitalau duduk disamping Kadli menerima baate untuk memaklumkan setiap o’oliyo’o pohutu. Mayulu, pada waktu tombulewo memasuki atau menaiki tolitihu (tangga) berdiri dikiri kanan didepan ngango lo huwayo (mulut  buaya). Pahalawini (2 orang) molonggo (pencak) didepan tembulowo smbil mundaur menuju ke tolitihu yiladia atau bantayo poboide. Demikian pula penabuh towohu (genderang) adalah dari perangkat ini, yang bertugas sejak mulai masuk tamu (penjabat pemerintah) dan membunyikannya sebagai petanda berlangsungnya setiap kegiatan upacara. Pada acara (mengingatkan) Apitalau bertugas menyampaikan tuja’i.
     Seperti dikatakan diatas perangkat bala ini pada satu saat akan menghilang akibat kurangnya perhatian kepada nasibnya. Dibandingkan dengan lebi atau Hatibi yang nasibnya lebih baik dapat memperoleh sedekah membaca fateha atau diundang mohaulu (membaca arwah) atau menjadi aamilin pada bulan ramadhan. Padahal dilihat dari segi tugasnya Mayulu pada Paaha benar-benar mengemban amanat popayato dalam bagian tuja’i : Batanga Pomaya, nyawa podungalo.
3.3.4.4. Wali-Wali Mowali dan Panggola Lo’u Lipu
     Wali-wali adalah bangsawan tuwango lipu atau pemuka masyarakat yang boleh pegang sesuatu jabatan.
     Dalam hubungan pohutu momulanga, wali-wali mowali berperan untuk memperlancar dan mengatur jalannya upacara. Dilimboto sebelum baate molubo kepada Kadli (limboto dan gorontalo) untuk Mopowali Mowali. Dengan demikian wali-wali mowali berfungsi mongimato (memperhatikan) situasi apakah sudah boleh kegiatan selanjutnya dimulai atau belum. Tetapi peran serta wali-wali mowali ini tidak terlibat secara langsung dalam tata urutan acara pohutu yang dimaksud. Jadi berbeda baate dan perangkatnya dan memang sebagai pemeran utama.
     Tetapi walaupun demikian jelas kedudukan wali-wali mowali dilimboto seakan-akan mempunyai wewenang yang agak menonjol dalam suatu pohutu. Memang demikian keadaannya karena wali-wali mowali adalah buatula o’a-o’alo (utas yang terurai). Hubungan mereka dengan pemerintahan dapat dilihat dan tuja’i sebagai berikut :
            Wali – wali wau ito                    :    Wali –wali dan kita
            Humaya odelo pito                    :    Diumpamakan pisau.
            Dumbato  boli bulito                 :    Diasah dan di pertajam.
            Moolohu moluyito                     :    Tajam dan runcing.
            Ito malo matoliyo                      :    Anda adalah matanya.
            Wali- wali pantungiyo               :    Wali –wali adalah hukumnya.
     Wali-wali beroleh kedudukan yang sedemikian kuat sewaktu pemerintahan Raja Eyato dimana ditekankan ialah pendidikan dan budi pekerti dan bukan darah atau keturunan.
     Demikian puka panggola lo’u lipu. Mereka terdiri dari pensiunan pejabat misalnya wule lo wuleya (bekas camat) yang berpengalaman dan menguasai adat. Pada waktu tobonela (menjabat) dahulu mereka menjadi taahuwa lo aadati (tempat menyimpan adat) panggola lo’u lipu berfungsi mongimato pelakanaan atas tata urutan upacara (timoli’a meeyalo leenggota lo aadati). Bila pelaksanaan lansung pada suatu saat lo’u moinga lenggota (lupa urutan) ia berhak mohilawadu (bertanya) kepada Panggola lo’u Lipu berkewajiban untuk mengingatkan baate kalau menjadi kehilapan. Peringatan disampaikan secara tidak langsung (lohu-lohumo).
3.4. Perlengkapan
     Yang diamaksud dengan perlengkapan disini adalah segala peralatan yang berhubungan dengan adat yang diperlukan dalam rangka pohutu momulanga. Baik peralatan yang dipakai oleh (a). Tombuluwo (b). taa motombulu (pelaksana) (c).perlengkapan tempat potombuluwalo.
3.4.1. Perlengkapan Tombuluwo
     Dahulu pada waktu pimpinan tertinggi pemerintahan di daerah ini masih berstatus Olongia, pada waktu itu Olongia sebagai Tombuluwo dalam rangka diberikan pulangga, mengenakan pakaian sebagai berikut : (a).  Tutup kepala adalah paluala, (b). Kemeja warna hitam dengan pinggir mas (kuning), dan (c). Celana juga pinggir kuning (pita kuning). Dan untuk mbu’i (istri) memakai (a). Tutup kepala bili’u dn (b). Kemaya dan batik (tidak ada ketentuan) asal tidak bergambar burung/binatang. Demikian pula untuk Wuleya Lo Lipu dan Istrinya.
     Untuk sekarang ini puluala diganti dengan kopiah dengan memaki pita kuning pada pinggir bawah dan atas (kecuali untuk Wuleya kopiah biasa tanpa pita). Pakaian lengkap, sarung dibagian bawah dan ujung bawahnyamelebihi ujung bawah jas. Dalam adat pakaian ini mengandung makna (a) tutup kepala belambang agama dan adat atau melambangkan tuango Lipu (ingat hu’idu lo datahu), (b). Kemeja melambangkan pahawe, (c). Celana melambangkan wu’udu dan (d). Palipa (sarung) ialah mato lo aadati (inti adat).
3.4.2. Perlengkapan Ta Motombulu
     Perlengkapan pelaksana pohutu momulanga belum banyak mengalami perubahan. Perlengkapannya berturut-turut sebagai berikut.
3.4.2.1. Baate dan Perangkatnya
Baate /  Wuu;                         
Ø   Payungo ( destar ) kain batik putih hitam.
Ø   Kimunu dari kain kembang( Limboto ), polos Gorontalo
Ø   Celana sampai dimata kaki ( celana panjang ).
Ø   Sarung ( palipa ) terikat dipinggang untuk Baate dan untuk Wu’u sarung dililitkan diatas kimunu dengan ujungnya diatas paha.
Kimalaha            : ( khusus Limboto ), sama dengan Baate.
Kepala Kampung : sama dengan Baate tapi celana sampai ditumit.
Wali – wali mowali / Panggola lo’u Ulipu :
Ø Kopiah tanpa pita.
Ø Bo’o Takoa atau Bo’o Kini ( baju kebangsaan ) warna hijau tua.
Ø Sarung diatas baju sampai diatas paha ( seperti Wu’u ).
Kadli dan perangkatnya :
Kadli :
Ø Dutonga da’a dengan kalipusu di dalamnya, dililiti serban putih   berbintik emas.
Ø Jumba berwarna ungu.
Ø Sarung ( sesudah jubah ) yang ujung bawah lebih panjang dari               ujung jubah.
Ø  Salendangi ( salendang ).
Moputi ( Mufti ); sama dengan Kadli.
Imam :
Ø  Dutonga kiki tanpa kalipusu.
Ø   Jumba.
Ø   Gamisi.
Ø   Sarung.
Ø   Selendang.
Shalada’a :
Ø Baju kin putih, diatasnya antali atau sadaria ( baju tanpa      lengan), tanpa jumba.
Ø  Gamisi.
Ø  Dulu pegang tongkat sebagai Tonulahu Lipu.
Bilale / Hatibi :
Ø Dutonga kiki   ( kopiah karanji dililiti kain putih ).
Ø  Baju kin putih.
Ø  Selendang.
Untuk Hatibi :
Ø Gamisi sampai keatas lutut.
Ø  Dutongo sama dengan bilale tapi lebih kecil.
Ø  Celana putih.
Kasisi  :
Ø Bo’o kiki ( baju kin putih ).
Ø  Sarung terurai kebawah didalam baju.
Ø  Kopih keranjang.
Ø  Celana putih.
Ø  Selendang bahu kanan.
Ø  Apitalawu dan perangkatnya.
Apitalawu :
Ø Upiya da’a atau destar ( payungo ) hitam.
Ø  Bo’o da’a ( jas tutup hitam ).
Ø  Huwangga  ditangan kanan.
Mayulu Da’a :
Ø Payungio ( destar ) berwarna hitam / coklat.
Ø  Talala Kiki ( celana tidak sampai kemata kaki ) berwarna hitam.
Ø  Palipa ( sarung ) yang terlipat di pinggang.
Ø  Tongkat payung ditangan.
Ø Bitu’o ( keris ) terselip di pinggang.
Mayulu; ( terdiri diri 5 orang ).
         (1).     Mayulu lo Kadato.
         (2).     Mayulu lo Yiladiya
         (3).     Mayulu lo Humbiya
         (4).     Mayulu lo Data
         (5).     Mayulu lo Lahuwa
                   Busananya :
J Payungo warna coklat hitam.
J  Bo’o kiki.
J  Celana tidak sampai kemata kaki.
J  Bitu’o ( keris ) tersisip di pinggang.
J  Tongkat pendek di tangan.
J  Payungo ( destar ).
Pahalawani ( Komandan ).
*    Payungo berwarna hitam dari batik.
*     Baju kain putih.
*     Celana putih panjang sampai ke tumit.
*     Bubohu + eluto.( pentungan) di tangan
Paaha
ü sama dengan perlengkapan pahlawani (celana sampai buku-buku).
3.4.3. Perlengkapan Yiladia
3.4.3.1. Alikusu
     Bangunan ini didirikan dipintu masuk halaman dengan bahan sebagai berikut  :
Ø Tiang dari batang pinang yang telah di keluarkan kulitnya sebanyak 6 ( enam ) pohon ( 3 pohon sebelah kanan, 3 pohon sebelah kiri ).
Ø  Bambu kuning untuk jalambu yang dibuat 3 ( tiga ) susun ( makin keatas makin pendek ) dipasang melintang, antara 3 batang pinang ( kiri dan kanan) berdiri masing – masing 2        jalamba yang tingginya dari tanah sampai jalamba terbawah yang melintang.
Ø  Janur ( lale ), maknanya tuwoto ta dadaata atau tuwango lipu ( rakyat banyak ).
Ø  Lengkungan yang menghubungkan batang pinang ( kiri dan kanan ) yang dirangkai dengan lale.
Ø Ujung bambu yang berdiri di tengah pada jalamba yang teratas, dihubungkan dengan lengkungan, dipuncaknya diikatkan “ Ombulo yilutu’o “ yang bermakna penghambaan kepada Allah.
Ø Polohungo ( puring ) yang diikat sepanjang batang pinang ( kiri dan kanan bahagian dalam ) yang bermakna “ Tonulahu Lo hilawo artinya keikhlasan hati.
Ø Lale, maknanya tuwoto taaa daaadata :
Ø Gambarnya sebagai berikut lihat halaman 33).
3.4.3.2. Tolotihu Tangga yang terbuat dari bambu kuning
     Untuk menjelaskan Tolitihu ini didasarkan pada tahuda lo mongo panggola (tuja’i) sebagai pakulio lo tolotihu yang berbunyi sebagai berikut  :
                   Hulanggili hulalata                            :         Negeri yang sejahtera
  Wollihi pato’a data                      :    Tiang penopang Negeri
  Wopata putu buuwata                 :    Empat tiang penopang
            Ito taa pongata                                  :         Anda tumpuan harapan
            To tawu daata                               :    Bagi orang banyak
            Teya teeto mohelumo                   :    Dimana – mana bersatu
            Teeto teeya motonungo               :    Semua membantu
            Wonu bolo tumanggalo                :    Kalau terjadi keikhlafan
                 To olanto mongilalo                     :         Anda yang membijaksanakan
                 Wonu bolo humaya’o                  :         kalau berlebihan
D
C
 
                   To olanto tombula’o                         :         Anda yang memberi petunjuk
A.  Batang Pinang
B.   Jalamba malintang
C.   Lengkungan ujung bambu
D.  Ombulo yilutu’o
E.   Polohungo
F.    Jalamba berdiri
G.  Lale (janur)
 
Gambar Alikusu
 

























     Kesebelas baris tuja’i di atas maknanya menggambarkan tolitihu.Untuk memudahkan penjelasannya diperlihatkan dengan gambar sebagai berikut.(lihat halaman 33).
             Yang dimaksyd dengan wolihi/pato’o pada baris 2 bukan merupakan tiang yang dipancangkan di tanah tepi 4 batang bambu (yang ukurannya sesuai tinggi rendahnya rumah) sebagai landasan tolitihu.Letaknya agak miring dari tanah balak rumah (pihito) sehingga tolitihu menjadi landai.Ini melambangkan jabatan pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan masyarakat (wolihi pato’o data).Sebagai landasan selalu diambil bambu yang cukup umur dan kuat.kekuatan ini melambangkan 4 hal yaitu (a) moteteheto to hilawo (kuat hati), (b) moteteheto to ilimi (berilmu), (c) mototoheto to buto’o (menguasai hukum), dan (d) mototoheto to aadati (menguasai adat).Jadi melambangkan 4 ke mampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin.
             Bilah (belahan) bambu tidak dapat berfungsi atau diatur kalau tak ada buuwata.Pada buuwata inilah letaknya kekuatan bilah bambu yang letaknya melintang diatas wolihi/pato’o data, sehingga kelihatan seperti dianyam. Ini melambangkan jabatan wulea yang disamping perlambang 4 kemampuan juga to wutata limutu melambangkan pulanga yakni (a) Tibawa (Limboto), (b) Dunggala  (Batudaa), (c) Tomilito (kwandang) dan (d) Buta’i yo (paguyaman).Dalam tuja’i tadi terdapat pada baris ke 3 wopato putu buuwata.Agar bilah bambu yang melintang tadi yang seperti terikat pada buuwata itu terjadi kuat,maka buuwata itu dimasukan pada bambu yang juga melintang.Bambu ini memisahkan sejumlah bilah tertentu dari yang lainnya.potongan bambu ini diperlambang jabatan kepala/pegawai lainnya.Dalam tuja’i diatas terdapat pada baris 4 : ito ta pongata.Kalimat secara bebas dapat diterjemahkan’’anda yang bertanggug jawab’’karena kepala yang selalu berhadapan dan berada diantara tuango lipu.
Jumlah potongan bambu tadi ialah 5 potong (di paguat 8 potong).Bilah bambu dipisahkan oleh 5 potong bambu tadi,masing-masing (antara 2 potong) sebanyak 7 atau 13 bilah.Dipilih salah satunya yang dipasang menghadap ke atas (terlentang).Di paguat boleh juga dipasang menghadap kebawah (terlungkup).
Angka7 melambangkan 7 martabat dan angka 13 melambangkan rukun sembahyang.Di Atingola jumlah bilah itu 8 buah.Bilah-bilah bambu ini melambangkan tuangolipu (dalam tuja’i terdapat pada baris ke lima yaitu to tawu daata).Di paguat tolitihu memakai bingkai yang berarti ’’pagar’’ (memagari tawu daata) .Di kiri kanan tolitihu di pasang ngango lo huayo (mulut buaya) yang juga pada bambu kuning.Ujung bambu kurang lebih 30 m dibelah dan di buat sedemikian rupa sehingga terbuka seperti mulut buaya.pada masing-masingdi dibuat bergigi.Bagian atas 6 buah dan bawah 5 buah.Ngango lo huayo karena merupakan kelengkapan adat mutlak ada di samping tolitihu.Ada yang memberikan makna sebagai alat penolak (penyakit ? ).Tapi pada umumnya terdapat kalu tumbuluwo tidak bertindak adil akan diterkam oleh buaya itu.
Ngango lo huayo ini terdapat pada baris 6 dan 7 tuja’i di atas ’’teeya teeto mohelumo,teeto teeya motonungo’’.Perlengkapan lainnya tolitihu ialah luhuta tumu-tumulo pohon pinang lengkap dengan daunnya.Luhuto di tanam di kiri kanan tolitihu dan ngango lo huayo diikatkan padanya.Pohon pinang ini sebagai pelambang buto’o (hukum),hukum harus di jalankan adil (lurus seperti batang pinang itu).Juga sepakat rasa buah pinang itulah hukum di jalankan adil (lurus seperti batatang oinang itu).Juga sepakat rasa buah pinang itulah hukum dijalankan sebab tidak membedakan objeknya. Makna buto’o ini terdapat pada baris ke 8 dan9 yang berbunyi :
  Wonu bolo tumanggalo             : Kalau terjadi keikhlafan
  To olanto mongilalo                          : Anda yang membijaksanakan
Tuango lipu motonggolipu memerlukan pengayoman dari pemerintah dan itu dilambangkan dengan lengkungan lale yang menghubungkan bagian kiri kanan dan bagian atau ujung bawah tolitihu. Juga lale itu merupakan peringatanbagi tombulowo di dalam menjalankan tugasnya. Setiap yang melewati tolitihu pasti mukanya terkena  pada daun janur  (lale) yang kalau berlebihan. Tuango lipu yang di ayomi ini memerlukan tempat berpegang demi keselamatannya. Ini dilambangkan dengan o’aita (pegangan) yang ditempatkan dikiri kanan tolitihu seperti pada 2 baris terakhir yang berbunyi  :
     Wonu bolo humaya’o      : Kalau berlebihan
     To olanto tombula’o           : Anda yang memberi petunjuk
             Dipihak lain tolotihu yang lengkap inilah dalam versi adat gorontalo hakekatnya sebagai perlambang masyarakat yang adil dan makmur yang di redhai olehTuhan yang Maha Esa dan itulah masyarakat Pancasila yang mnjadi tujuan negara kita. Dalam tuja’i dilambangkan hanya 2 kata pada baris pertama  :
Hulanggili hulalata : yang maknanya sangat tinggi.
        Antara tolitihu dan alikusu dihubungkan dengan lengkungan lale yang di tancapkan pada ujung bambu. Di atinggola ujung lale di potong kalau digunakan pada upacara pemakaman. Jadi menandakan berduka, ada juga menafsirkan pemotongan lale itu berarti persamaan kedudukan raja berasal dari luar( mato lo dula) dengan raja-raja di gorontalo pada waktu itu.
3.4.3.3. Bulita
        Yang dimakssud disini adalah tempat duduk pada upacara adat. Semua yang hadir termasuk tombulowo  duduk bersila. Karena itu memerlukan alas. Bagi tumbuluwo tempat duduknya ialah kasur yang dialaskan dengan permadani. Dan bagi undangan amongo  (tikar) atau alat lain yang berfungsi seperti amongo (wumbato-pengalas).
        Perlengkapan lainnya ialah pomama tala’a (tempat sirih pinang yang bertatakan perak) untuk mengisi tilolo (uang adat) bersama tamba luda (tempat ludah). Pada saat alat ini di gunakan dibawa bersama toyungo bilalango tonggo-tonggoto (payung kebesaran terbuka).
        Hantalo (genderang) ialah suatu alat yang mutlak ada dalam pohutu momulanga yang di tabuh oleh pahlawani. Alat ini dipakai antara lain mongiringi acara mopodiambango, pejabat pemerintah memasuki bulita atau menandakan setiap kegiatan dimulai.
3.5. Pelaksanaan
        Proses pelaksanaan  (acara) pohutu momulanga telah di gariskan dengan adat. Acaranya sangat mengingat kecuali apa yang di sebut yang di adatkan (kebiasaan) seperti acara mopotamelo. Ini merupakan suatu acara yang sifatnya mengikat, sehingga pelaksanaanya bebas. Proses pelaksanaan pohutu momulanga berturut-turut sebagai berikut.
3.5.1. Persiapan
        Istilah huyula (gotong royong) yang telah mendarah daging dalam masyarakat duluwo limo lo pohala’a yang dilaksanakan antar anggota dalam suatu kelompok atau antar kelompok sebenarnya sumber dari kegiatan adat.Oleh karana itu huyulah sejak lama hingga sekarang dan dalam masa mendatang tetap terpelihara,selama adat itu terjamin kelestariannya.
        Dalam pohutu momulanga terdapat kerja sama yagn rapih yang telah ditetapkan menurut ketentuan adat.Hal ini di lihat misalnya pemberian palnga yang di buat di limboto,maka sebagai pelaksana ialah  pemangku adat dari Gorontalo dan sebaliknya.Demikian pula di suwawa pelaksananya ialah dari Gorontalo dan Limboto.Ini bukan berarti bahwa pemangku adat di tempat itu tidak ada kegiatan.Kegiatannya tetap ada.
Tetapi yang pemegang peran utama atau penonjol atau pemangku adat dari luar itu.Hal demikian yang telah diperjanjikan sejak janji lo’u duluwo yang berbunyi :uubua la’i-la’i u la’i bua-bua to pohutu teeto-teeya.Kerja sama itu bukan saja pelaksanaan momulanga itu saja,juga dalam mempersiapkan pelaksanaannya. Misalnya membuat palepelo (bangunan tambahan)bahan di sediakan oleh pemangku-pemangku adat dari luar (gorontalo).Dan walaupun hal ini sudah merupakan ketentuan ,didalam pelaksanaannya selalu di awali dengan  dulohupa ode heeluma dan dilakukan melalui beberapa lintonga (tahap).
        Untuk memudahkan penjelasan tentang pohutu momulanga sehubungan dengan kerja sama di atas dikemukakan di sini upacaranya berlangsung du limboto.
Sebelum pelaksanaan upacaranya diadakan : (a) duulohupa wolo taa tombuluwo,(b) duulohupa bubato lo limutu, (c) baalanga, (d) huhama atau toduwo,dan (e) duulohupa bubato lo limutu dan Hulontalo (taa mohutato).
3.5.1.1. Duulohupa wolo taa tombuluwo
                        Duulohupa wolo taa tombuluwo (musyawarah dengan calon yang akan di berikan pulanga) maksudnya ialah menyampaikan maksud untuk memberikan pulanga kepada pejabat yang bersangkutan.Yang bertugas membicarakan dengan Mbu’i (isteri) dari pejabat yang bersangkutan.Kepada isterinya itu di sampaikan maksud  untuk memberikan pulanga kepada suaminya.Sebagai contoh di sini membicarakan wu’u dan calon tombuluwo sebagai berikut :
        Ami gigiateya mongotipa’i kami pemangku adat dan penghulu negeri
Wono mongotiama nato toguata        Bersama-sama seluruh rakyat
Wono lipu motoliana’o,moto             Datang dengan kerendahan hati
Liana’o lipu                                     memaklumkan
Do nayi mopowondomo woli dele    Kepada raduka yang mulia bahwa pada hari
Nato to guata,o sunggania no…..
Lipu do noyi goluma’a,donoyi          Seluruh pemangku adat dan rakyat
goluma’o lipu                                  negeri peduka Tuan telah sepakat dan bersatu tekat
Do mayi monombupu onato woni
3.5.1.2. Duulohupa lo bubato lo limutu
        Duulohupa lo bubato lo limutu (musyawarah pemangku adat limboto) maksudnya ialah pertemuan untuk membicarakan tentang pohutu momulanga yang akan dilaksanakan di limboto.Sebagai penginisiatif pertemuan tersebut ialah baate dan dialah yang akan bertindak sebagai ketua dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan ini di hadiri oleh (a) Kadli, (b) Baate/kimalaha, (c) Apitalau,dan (d) wali-wali mowali/panggola lo’u lipu.Pertemuan seperti ini kalau pelaksanaan di luar limboto juga berlangsung sama seperti diatas.Duulohupa ini di kenal dengan nama duulohupa momu’o buluwa lo aadati (pertemuan membuka simpanan adat).Dalam duulohupa tahap awal menyangkut masalah (a) persyaratan seperti yang telah di bicarakan terlebih dahulu (3.3.1), (b) nama pulanga, dan (c) waktu.
        Setelah lintonga di atas dapat dilalui  dalam arti telah menghasilkan suatu keputusan,maka lintonga berikutnya dalam persiapan ini ialah (a) mempermaklumkan kepada wuleya lo lipu tentang hasil duulohupa lintonga pertama,di samping membicarakan apa pohutu tersebut dalam bentuk (i) mopowo’opo (dalam lingkungan terbatas) atau (ii)mopongo’alo atau mopongo’abu atau mopololadu (neluas), (b) mempersiapkan yiladia,dan (c) mempersiapkan tempat adat.
3.5.1.3 Baalanga
        Yang dimaksudkan dengan baalanga atau mopobaalanga ialah pengiriman utusan dari limboto ke Gorontalo tentang keputusan bubato lo limutu untuk melaksanakan pohutu momulanga sebagai hasil heeluma lintonga kedua di atas. Baalanga ini menurut ketentuan janji lo’u dulu’o harus melalui lahidiya tiyombu yakni suwawa.Jadi sebelum mobaalango to wutata limutu misalnya ode wutata Hulontalo harus melalui ito wutata suwawa untuk memeklumkan bahwa limboto akan bermusyawarah dengan Gorontalo.
Demikian pula sebaliknya yang bertugas atau menjadi baalanga ialah empat orang wuleya lo lipu yakni (a) Tibawa (nama pulanga limboto), (b) Dunggala (nama pulanga batudaa), (c) But’iyo (nama pulanga paguyaman).Apabilah keempatnya karena suatu halangan tak dapat,maka paling kurang dua orang dengan catatan Tibawa sebagai salah satu diantanya (mutlak).
Mendahului keberangkatan baalanga pada hari yang sama juga limehe (salah seorang pemangku adat Limboto) yang dikenal sebagai taa wo’o-wo’opa aadati (penyimpan adat)dan baate memaklumkan kepada wulea lo Hulontalo (Bilinggata) akan kedatangan baalanga dari limboto.
        Yang menunggu untuk mengadakan musyawarah dengan baalanga ini empat orang wulea lo lipu yakni (a) Bilinggata (narat),(c) lupoyo (kota selatan), dan (d) hungina’a (Telaga).
Keempat mereka inilah yang dikenal dengan nama :
        Wulen wopato                                                                     : Empat orang Camat
        Ohu’uwo lo’u mongimato      : Yang berhak menilai
Duulohupa ini (Limboto-Gorontalo) dikenal dalam tuja’i :
        Duluwo mohutato       : Dua bersaudara
        Maa tona-tonapato     : Dalam musyawarah
        Heeluma lo’u duluwo mohutato (hasil musyawarah dua bersaudara) ini di sampaikan lagi oleh bilinggata ke suwawa.
3.5.1.4 Huhama atau Toduwo
                        Yang dimaksud dengan huhama/mohama-hama atau toduwo/moloduwo ialah mengundang para pejabat dan pemangku adat baik di limboto dan kecamatan lainnya yang dianggap perlu sebagai tamu para pohutu momulanga yang akan dilaksanakan nanti.
Yang bertugas mohama-hama atau moloduwo ialah para pemangku adat dari limboto karena upacaranya di buat di limboto.Petugas ini di tetapkan oleh Baate dan terdiri dari enam kepalah kampung yang telah memiliki pulanga  (pulanga lo kepala atau taa uda’a) masing-masing dengan isterinya . Keenam orang petugas ini sebelum bertugas maa pitatoliyo lo aadati (Lengkap dengan pakaian adat) yaitu berupa : (a) payungo (destar) dan (b) palipa (sarung) yang merupakan mato lo aadati (inti adat). Pakaian adat yang di pakai oleh petugas ini berasal dari yiladia.Para petugas sebelum bertugas membagi diri menjadi tiga kelompok sesuai personalia ’’buatula towuloongo’’ masing-masing kelompok terdiri dari 2 orang bersama isterinya mengundang (a) bubato ,(b) sara’a, dan (c) buatulo bala.
3.5.1.5 Duulohupa Bubato lo Limutu dan Hulontalo.
        Pertemuan ini merupakan pertemuan puncak pada tingkat persiapan.Yang hadir ialah empat orang wulea lo lipu dari Gorontalo yaitu (a) Bilinggata, (b) Wuwabu, (c) Lupoyo dan (d) Hungina’a (sekarang tinggal tiga oleh karena Hungina’a (Telaga) merupakan bagian kabupaten  Gorontalo bersama baate dari Gorontalo dan empat orang wulea lo lipu dari limboto yakni (a) Tibawa, (b) Dunggala, (c) Tomilito,dan (d) buta’iyo beserta baate dari limboto dan Gorontalo.Acaranya ialah membicarakan tenteng penetapan nama pulanga.Kalau yang di berikan pulanga itu adalah bupati maka nama pulanga yang akan di tetapkan ialah memilih salah satu dari 5 pulanga yang telah di tetapkan dalam ketentuan adat yakni ta’uwa lo’ (a) Lahuwa, (b) Data , (c) Lingguwa, (d) Humbia dan (e) Madala.Apabilah di berikan pulanga itu adalah Wulea lo lipu maka pertemuan tadi bersifat mengukuhkan pulanga yang telah ada  (seminar Adat, 1972 : 268).
3.5.2 Pelaksanaan
        Setelah segalah sesuatunya selesai dipersiapkan (3.5.1.1.-3.5.1.4) maka selanjutnya ialah pelaksanaan upacara pohutu momulanga.Berturut-turut lintonga acaranya sebagai berikut : (a) aadati potidungu (kecuali untuk suwawa kalau upacaranya di suwawa), (b) aadati lo’u lipu, (c) mopeelu, (d) mopotuwoto huali lo humbia, (e) mopotihulo, (f) mopodiambango, (to huali lo humbia), (g) mopolualo, (h) mopodiambango, (i) mopohulo’o, (j) mo mulanga, (k) molahuli atau mopo’ipito (ta’ua da’a, molomulo (dari luar pohala’a), (l) mongunti, (m) modu’a, dan (n) mongabi. Perlu diperhatikan apabila pemberian pulanga berlaku untuk wulea lo lipu lo suwawa yang melaksanakan upacaranya di masjid maka urut-urutan acara seperti di atas harus dimulai dari yiladia (lihat urut-urutan pada upacara momudu’o).
        Pada hari dan jam yang telah ditetapkan melalui duulohupa ode heeluma dan ini telah disampaikan kepada yang di undang oleh petugas (enam kepala kampung) maka pada hari itu para undangan akan berdatangan. Para tamu tersebut akan memasuki ruangan yang telah ditentukan demikian pula tempat duduknya (duduk menurut adat yaknni bersila). Ruangan tempat duduk itu disebut bulita lo’u lipu yang menggunkan alas lantai.
        Di pintu masuk halaman hiladiya, tepatnya disebelah kiri dan kanan alikusu berdiri 2 orang perangkat buatulo bala dengan pakaian lengkap yaitu paaha. Begitu tamu turun dari kenderaan dan akan memasuki pintu halaman hantalo dibunyikan terus sampai tamu terseut tiba ditempat duduknya.
Dengan demikian hantalo ditabu terus-menerus selama tamu berdatangan.
Disebelah kiri kanan tolitihu terdiri dari 2 orang  perangkat buatulo bala lengkap dengan pakaiannya. Yang bertindak sebagai penerima tamu sesuai ketentuan adat ialah baangio dan timbu’u. Disuwawa ialah wu’u laida’a.
        Huhulo’a bubalata berada disebelah kiri lo’huhu lo’a lo taa tombulou dan sebelah kanannya tempat duduk saraa ( berturut-turut kadli dan perangkatnya). Dibagian depan sebelah kanan duduk para mayulu dan perangkatnya dan disebelah kiri bubato dan perangkatnya.
3.5.2.1. Aadati Potidungu
        Aadati potidungu adalah suatu pertanda penyerahan pelaksanaan. Dengan demikian tersirat pengertian pembayaran atau penggantian kelelahan kebawah oleh ulipu seperti halnya pembayaran honor bagi anggota-anggota bantayo yang disebut tuuli/buatulo (uang ganti pembeli tali kuda). Seperti telah disebutkan dahulu apabila pelaksanaan di limboto, maka pelaksanaan inti upacara pohutu momulanga ialah bubato dari gorontalo. Jadi bubato lo limutu mohudu tonggota kepada bubato lo hulontalo. Kalau yang di uparakan seseorang olongia (Bupati/walikota) maka sekurang-kurangnya ditunjuk seorang camat yang bertugas molonggota aadati. Demikian pula sebaliknya kecuali kalau upacaranya dibuat di suwawa, maka tidak ada ketentuan aadati mopotidungu. Tetapi pelaksanaannya sama-sama (limboto gorontalo) aadati mopotidungu itu terwujud uang sebesar 10 real atau 10 x 1 – 60 = Rp. 16,-, untuk upacara setingkat dengan olongia dan 4 real atau 4 x Rp. 60 =Rp.6,40,- untuk wulea lo lipu. Suwawa disebut tilo yakni 160 real = 160xRp.1.60=Rp.256,- (momata wopato no ita suwawa).  Makna dari pada aadati mopotidungu ialah penghargaan dari ta to yitaato ode ta totibawa (yang tinggi kepada yang di bawanya). Sebelum acara ini dilaksanakan ditandai dengan membunyikan hantalo lo yiladia (kamar istana) dan pake-pake toyungo bilalango tunggo-tunggolo  (memakai payung kebesaran yang dibuka) diiringi hantalo (tanpa tamba luda). Pembawaannya ialah bubato lo limutu.
        Aadati mopotidungu itu terisi dalam pomama tala’a dan diletakan didepan bubato lo Hulontalo dan begitu diletakan hantalo berhenti.Pembawa mundur dan Baate lo limutu duduk menghadap Baate lo Hulontalo dan mopomaklum denggan mengatakan :” amiyatiya bubato lo aadati lo limutu maa to’o-to’opumayi aadati motidungu,aadati motidungu (kami pemagku adat dari limboto menyerahkan kepada anda pemangku adat dari Gorontalo adat bertangga turun (3x).Pemangku adat dari Gorontalo lalu menerimanya tanpa menjawab apa-apa dan mengeluarkan dari tempatnya.Pomama tala’a sebagai tempat aadati mopotidungu tadi di bawah kembali dengan memakai payung dan hantalo ke kamar yiladia.Baate lo limutu  memaklumkan kepada tumbulowo bahwa aadati motidungu telah di terima dengan baik dengan mengatakan : / aadati motidungu aadati motidungu maa tilolimoliyo lo’u sempurna eeya’u.
        Setelah mopomaklumu selesai baate lo limutu kembali menghadap baate lo Hulontalo dan menyampaikan dan mengatakan : maa mopolio’olo ito wutato lonto Hulontalo (anda pemangku adat dari Gorontalo sudah boleh mulai melaksanakan tugas).
        Sebelum baate lo Hulontalo mulai melaksanakan tugasnya,maka yang pertama kali dikatakan atau ditanyakan ialah : maa toonu hantalo Hulontalo meetahu-tahu to limutu (mana genderang Gorontalo yang tersimpan di Limboto).Pertanyaan ini di jawab oleh Baate lo limutu : maatiya ju (ada).
        Kegiatan di mulai dengan membunyikan hantalo yang agak lama pertanda bahwa upacara akan di mulai.Hantalo berhenti,Baate lo Hulontalo menghadap Kadli yang duduk berdampingan dengan Apitalau dan Baate lo limutu serta Wali-wali Mowali dan memeklumkan bahwa pelaksanaan upacara akan di mulai. Kegiatan mopomaklum di awali dan di akhiri dengan tubo.Di sini perlu di jelaskan tentang masalah tubo (sebelum tubo istilahnya ialah imato).Tubo dilaksanakan dengan mengepalkan kedua belah tangan di angkat ke atas tepat di depan mata kemudian di buka sambil menghadap ke atas.Tangan bermakna sebagai perlambang u lipu atau kekuasaan.Tangan kanan bermakna sebagai perlambang buto’o (hukum).Dan keduanya sebagai perlambang kedaulatan .Apabilah tumbuluwo adalah setingkat Olongia,maka kedua belah tangan yang terbuka itu di letakan pada pomantua ( diantara kedua belah mata).Bila wulea lo lipu tepat di atas bibir.Tombuluwo membalad tubo bukan dengan kata –kata,tapi dengan perangkat jari telunjuk diangkat ke atas maka kekuasaan Tuhan yang Maha Esa.
3.5.2.2. Aadati lo’o lipu (Dudelo dan tilolo)
        Acara ini tidak diikuti dengan tuja’i tapi dengan payu (aturan).Pelaksanaannya ialah Baate lo Hulontalo mopomaklumu totaa hadiri ngaa’ami u-da’a to wulea lo lipu teeto teeya,teeya teeto aadati lo tombuluwo maa pilopodunggamayi (Baate dari Gorontalo memaklumkan kepada hadirin terutama Camat bahwa adat bagi yang dinobatkan akan disampaikan.Sebelumnya Baate memaklumkan dengan mengucapkan :huhulo’o lo’u lipu motinguli lubolita .(duduk secara/pada tempat masing-masing )yakni tambe-tambelango (bersila).Aadati lo’u lipu terdiri dari (a) dudelo untuk tombuluwo yakni berupa uang 10 real ( 10 x Rp.1,60 =Rp.16,-).
Untuk yang setingkat dengan Olongia (Limboto) atau 10 kati (10xRp.2,50=Rp.25,) berlaku untuk gorontalo, atau 160 real (160xRp.1,6=Rp.256,-) untuk suwawa,dan untuk wulea lo lipu 4 roal ( 4xRp.1, 60=Rp.6.40) berlaku di Limboto atau 4 kati ( 4xRp.2,50=Rp.10,-)berlaku di Gorontalo dan suwawa 160 rea (160x Rp.1,60 =Rp.256,-),dan (b) tilolo untuk mbu’i yang setingkat dengan mbu’i lo olongia  1 real ( 1x Rp.1,60 =Rp.1,60 ) di limboto atau 1 kati ( 1xRp.2,50 = Rp.2,50) di Gorontalo.Tilolo dan dudelo cara menyajikannya sama dangan aadati potindungu di Gorontalo pembawanya terdiri dari 4 orang kepalah dan 4 orang juru kalamu masing-masing dengan isterinya Tombuluwo harus membuka sendiri yang berarti secara resmi yang bersangkutan telah menerimanya.
3.5.2.3. Aadati lo’o yilumo
        Aadati lo’o yilumo ialah secara memberi minum kepaa tombulowo acara ini sama seperti acara-acara sebelumnya tetap dipimpin oleh Baate lo Hulontalo; hanya yang menyediahkan atau menghidangkan pemangku adat di limboto (Timbupu dan Baagio)minuman ini terdiri dari 6 piring kukis yang diletakn di atas baki yaitu (a)  buluudoli, (b) lutu (pisang), (c) wapili (d) roda-roda (rosi), (e), curuti dan (f) Kolembengi atau duma-malo.Keenam jenis kukis itu mempunyai makna sendiri atau lambang yaitu : (a) Buluudoli-Olongia, (b),lutu –u lipu, (c)waapili –bubato,(d) roda-roda  (rosi)- banta to huali /mongo eya, (e) curuti –wali-wali mowali,dan (f) kolombegi atau dumalo makanan rakyat .Yang mopomaklumu atau persilahkan kepada tombuluwo ialah Baate  lo Hulontalo dan di dahului dengan tubo.Menurut ketentuan adat maka pertama kali di jamah oleh tombuluwo ialah pisang (walaupun tidak dimakan).
3.5.2.4 Mopotihulo
        Selaesai acara mopoela,maka acara selanjutnya ialah akan membawa tombuluwo bersama mbu’i keluar huwali lo humbio akan menuju ketempat duduk ;Acara akan didahului dengan pemakluman kepada seluruh hadirin oleh Baate lo Hulontalo dengan ucapan ; huhulo’o u’lipu motinguli lo bulita.’’ Acara mepotihulo terdiri atas molo’opu untuk tombuluwo dan momudu’u untuk mbu’i.molo’opu dan momudu’o dilaksanakan oleh orang bubato secara berurutan dan masing-masing dengan tuja’i sendiri.Sebelum mulai pengucapan tija’i seperti pada acara lainnya selalu di dahului dengan membacakan surat basmalah.dua
        Momudu’o dengan tuja’i sebagai berikut.
Ami mongotiyombunto             : Kami nenek ananda.
Momudu’o momuluto                : Mengundang mempersilahkan.
U ta’eya li yombuto         : Kenderaaan Nenenda
De tunggulo  mombuto              : Menuju sampai ketujuan.
Mo’obaya oli wuwa         : Akan seperti nenenda.
Mohala’o mohumbuwa             : Bersanak dan berkeluarga.
Ula’i  wawu u buwa         : Putera dan putri.
To’u duluwo lo huwa                 : Di antara dua kerajaan.
To’o limo lo lingguwa      : Pada  lima Negeri.
     Molo’opu dengan tuja’i sebagai berikut 
Patila pulutalo                 : Kedudukan para tertua.
Ami tiyombu kimala        : Kami pemangku adat.
Hi yolata bala – bala          :      Menunggu dengan adat
Hi wuluwa hitaala            : Bersatu dan menjaga.
Mo’opiya madala               : Untuk kebaikan negara.
Ami tiyombu ti ‘ uwa                 : Kami pemangku adat  tertua.
Hibubuwa mo’opiyo lahuwa   : Bersatu memperbaiki negara.
3.5.2.5. Mopoluwalo
     Setelah Taa Tombuluwo dan Ti Mbu’i berdiri akan dipersihlahkan keluar huwali lo Humbi’o oleh Bubato yang telah ditetapkan oleh Baate Lo Hulontalo, dengan tuja’i  sebagai berikut :
Wombu luwalo lomayi            :    Cucunda silahkan keluar
Lu walayi to dutula          :      Keluar dari kamar.
Bu’i  wawu huhuntula             :    Puteri cantik jelita.
Panggeta lalante bula               :    Singkaplah tirai.
Wali limato lo dula           :      Turunan Raja matahari.
Wumbu li Tolangohula            :    Cucu Raja Tolangohula.
Hulawa detilihula             :      Emas tandingannya.
3.5.2.6. Mopodiambango
     Setelah Taa Tombuluwo bersama Mbu’i berada dipintu Huwali lo Humbio, Bubato yang bertugas membawakan acara mopodiyambango         ( berjalan ) siap berdiri didepan  pintu ( huwali lo humbio ) dan mengucapkan tuja’i  sebagai berikut :
Wombu  payu bulayi                   :      Cucunda yang mulia
Otande – ntade mayi                    :      Datanglah kemari
Otile – tile pomayi                :      Melangkalah kesini
Ontade pola’ ayi                          :      Datanglah dan naiklah.
Tinile potuwotayi                 :      Berjalan dan masuklah.
Pada waktu baate mengucapkan tuja’i di atas sambil berjalan mundur dengan lambat di ikuti oleh tombuluwo dan mbu’i menuju ke tempat huhulo’a yang telah disiapkan.
3.5.2.7. Mopohulo’o
     Setelah Taa Tombuluwo dan Ti Mbu’i di tempat huhulo’a, di tunggu oleh Bubato yang lain untuk mempersilahkan kepada Taa Tombuluwo dan   Ti Mbu’i  dengan mengucapkan tuja’i  sebagai berikut :               
Wombu maatoduwolo                  :      Cucunda dipersihlahkan
Wahu maa popohulo’olo        :    Dipersihlahkan duduk.
To pu’ade wajalolo          :      Ditempat duduk kemuliaan.
Selesai tuja’i  diucapkan diatas, Taa Tombuluwo dan Ti Mbu’i  segera duduk ditempat huhulo’a berupa kasur yang dialas dengan permadani menghadap Bulita. Mbu’i  duduk disebelah kiri. Cara duduk ialah tambe – tambelango.
3.5.2.8. Momulanga
Setelah Taa Tombuluwo dan Ti Mbu’i  duduk pada huhulo’a lo aadati maka acara inti yaitu momulanga akan dilaksanakan, yang betugas membawa acara ini ialah Baate Lo Hulontalo. Baate lo Hulontalo duduk berhadapan dengan Taa Tombuluwo yang sebelumnya didahului dengan molubo. Kemudian Baate lo Hulontalo memegang  tangan kanan Taa Tombuluwo serta berjabatan tangan dengan Ibu jari saling bertemu. Dengan suara lantang dan beribawa Baate lo Hulontalo mengucapkan         tuja’i sebagai berikut :
Eayanggu, Eayanggu, Eayanggu
Maa leyi dudulamayi
Maa leyi dulohupa mayi
Mongo wutatonto mongo eeya
Wolo mongotiyamanto eeya
Wolamiyatiya mongotiyombunto eeya
Teto teeya, teeya teeto
Ito Eeya maa mololimo patatiyo lo pulanga
Ito Eeya maa pudu’ olo
Wawu ito Eeya ilodungga lo paalita U huwatola.
Wawu ito Eeya maa dungohela to palenta
Ito Eeya ma lowali……….( TA’ UWA LO LOMADALA).
Ito Eeya ma lowali……….( TA’UWA LO MADALA ).
Ito Eeya ma lowali……….( TA’UWA LO MADALA ).
Wallahi, wallahi otutu
Hulontalo Limutu
U tuutuwawuwa otutu
Dahayi bolo moputu
Ode janji  to buku

Billahi, Billahi, Billahi.
Limutu Hulontalo
Dahayi maawalo
Wonu bolo maawalo
Mowali mobunggalo

Tallahi, Tallahi, Tallahi.
Delo tahuwa to hati
Syara’a wawu aadati
Wawu popo biibiya
Aadati wawu syara’iya
Dila bolo wohiya motiya
Odudu’o lo tadiya
Huta, huta lo ito Eeya
Tulu, tulu lo ito Eeya
Dupoto, dupoto lo ito Eeya
Taluhu, taluhu lo ito Eeya
Tawu, tawu lo ito Eeya
Boo ito Eeya dila poluli holawo
Eyanggu………..
Artinya :
Tuanku, Tuanku, Tuanku.
Semua sudah berkumpul
Sudah bermusyawarah
Semua keluarga tuanku
Dengan para pemangku adat
Tuanku akan di jemput
Dan tuanku memperoleh kesempatan
Akan dangkat menjadi ………………….( 3x ).
Tuanku akan dituruti dalam perintah

Tuanku telah dinobatkan menjadi ‘ Ta’uwa lo Madala ‘
Dengan nama Allah yang benar
Gorontalo – Limboto.
Yang sama dan serasi
Jagalah jangan sampai berpisah
Seperti janji tertulis

Dengan nama Alllah ( 3x)
Limboto – Gorontalo
Jagalah jangan sampai retak
Kalau retak
Akan hancur
Dengan nama Allah ( 3 X )
Simpanlah dalam hati
Agama dan adat
Dan  supaya seimbang
Adat dan Agama
Jaga jangan sampai terpisah
Akan kena sumpah

Tanah, tanah milik tuanku
Api, api milik tuanku
Angin, angin milik tuanku
Air, air milik tuanku
Rakyat , rakyat milik tuanku
Tapi tuanku jangan memuaskan nafsu.
Tuanku 
Selesai Baate lo Hulontalo memberikan pulanga secara resmi seperti diatas lalu tangan Taa Tombuluwo di lepaskan. Kemudian Wu’u lo Suwawa yang duduk disamping Baate Lo Holontalo segera mengucapkan tuja’i sebagai berikut :
          Mato no tingga kolano                        :         Paduka Raja yang mulia
          Ita do wuduwa                                : Kami kemari menobatkan tuan
          Wu’udi mayi panuwa                          :         Dipihak bunda kami berdiri
          Ita ta ino dutuwa                               : Paduka tuanlah yang mewarisi          
No lipu mata – dewata                   : Negeri yang dua ini
Ominango odebuwa                          : Ada muara ada pelabuhan
Omomata diyambuwa                       : Penduduknya banyak
Mata no tinggo Kolono tugu ‘uwa  : Paduka Raja yang mulia.
No leboto lo tamayo                         : Tuan perintah dari Lebolo Tamuyo 
Mata no tingga boli po’o limoto     : Berbaiklah tuan berperi
No tamuyo Leboto                            : Dari Tanuyo  sampai Lebato.
     Kalau diperhatikan benar-benar isi tuja’i yang diucapkan diatas maknanya sangat dalam. Berisi tanggung jawab yang berat bagi yang dinobatkan. Tanggung jawab terhadap masyarakat adat agama. Tanggung jawab untuk menjaga hubungan antara kedua daerah ini/ limboto dan gorontalo. Kalau diperhatikan dengan baik maka tuja’i  diatas disamping sebagai pertanda ta tombulawo diberikan pulanga, tetapi juga sekaligus berisi sumpah dan janji serta peringatan keras kepadanya dalam mengemban tugas dari tanggung jawabnya kepada Tuhan, lipu dan tuango lipu.
3.5.2.9. Molahuli
          Molahuli maksudnya berpesan dan mengingatkan . acara ini dilaksanakan secara berganti ganti dengan mengucapkan tuja’i
b).   Yang melaksanakan  acara molahuli diatur sebagai                                berikut :
  -    wopato teeto artinya 4 orang dari Gorontalo, masing – masing              Wuleya lo lipu Bilangata, Baate, wali –wali mowali dan apitalawu.
            -    Wopato teeya artinya 4 orang dari Limboto, masing – masing                                 Baate lo Limutu, wuleya lo lipu lo Limutu, wali – wali mowali,                                      dan Apitalawu
          Isi dan pembawa tuja’i sebagai berikut :
1).   Wuleya Lo Lipu Lo Hulontalo ( Bilanggata )
       Bu’i  bungale pulu                :      Tuan turunan bangsawan
       Wuwa’atiyo kabulu        :    Asalnya orang terkabul.
       Batangiyo taa pulu                :      Titisan para raja – raja
       Hungaliyo tilombulu             :      Awalnya dari yang dijunjung.
2).   Wuleya lo lipu lo Limutu ( Tibawa ).
       Dile’u dile – dileto                :      Istri yang dimanja
       Diludupo duuheto                 :      Jangan bayangkan yang tidak baik.
       Boolo ngango molahepo  :    Kalau berucap yang baik.
       Mo’o bua to meleto          :    Membawa perselisihan.
3).   Baate Lo Hulontalo
       Timihupo to madala         :    Pimpinlah Negeri
       To talohu to hulala                :      Dengan Arif bijaksana
       To pobadari to Allah            :      Sesuai ketentuan Allah
       To azza wa jala                     :      Yang menjadi wakil Allah
       Wolo Nabi  Mursala         :    Dan Nabi yang mursala ( suci benar ).
       Mo’opiyo to Allah                :      Doakan kepada Allah
       Umuru sejahtera                   :      Panjang umur dan Sejahtera.
4).   Baate lo Limutu :
       Patihulawa asala                   :      Berbudi pekertilah yang baik
       Didi lonto Allah               :    Amanat dari Allah               
       Tilombulu to madala        :    Menjadi pimpinan negeri
       Patihulawa lo wulu          :    Jadilah kalung Emas.
       Diidi lo Rasulu                      :      Amanat dari Rasul
       Badari lo Rasulu                   :      Sebagai Wakil Rasul
       To madala tilombulu        :    Pada negeri yang di muliakan.
5).   Wali – wali mowali Gorontalo.
       Olohiyo lolayito               :    Rajinlah selalu
       To utiya to uwito                  :      Berbuat ini dan itu
       Pulanga pali – palito        :    Jabatan sudah  di tetapkan.
       Bo hale motidito                   :      Hanya hati yang tulus tuanku
       Eyanggu                           :    Tuanku
6).   Wali – weali Mowali Limboto :
       Donggo ito ta’uwa                :      Tuanlah sebagai   pemimipin
       Lipu hu’a tunuwa            :    Negeri segera bangun
       Maa diila li’u – li ‘uwa     :    Jangan dikelok- kelokkan
       Wonu bolo oli’uwa          :    Jika dibelokan
       Wu’udiyo opuluwa          :    Peraturan yang ditetapkan .
       Eyanggu                           :    Tuanku.
7).   Apitalawu ( Hulontalo ) :
       Ami tiyombu tumudu            :      Kami penjaga aturan
       Hiwulata lo wu’udu         :    Mempertahankan kaidah
       Wonu motihutudu                 :      Jika membangkang
       To’o lanto tumudu                :      Pada Tuanku hakimnya
       Eeyanggu                         :    Tuanku
8).   Apitalawu ( Limboto ).
       To banta mulia                      :      Cucunda yang mulia
       Ito ma lo tahuliya             :    Tuanku diperingatkan
       To lipu duluwo botiya          :      Didalam negeri ini
       Hente elehiya                   :    Jangan sekali - kali
       Bolo ilo- ilolo’iya                  :       Membuang kata yang tidak terpuji.
       Wonu u dila Opiya               :      kalau ada yang tidak disenangi
       Taa daata u manusia        :    Rakyat jelatapun manusia .
       Eeyanggu                          :    Tuanku
9).   Wu’u lo Suwawa    :
       Ami lipu domoyuna           :      Kami kepala adat menghormati
       Boya demo ponuwa           :      Sudah tiba saat penobatan
       Donuya no galuma        :    Telah di musyawarahkan bersama
       Aadati ni pa’inato muna    :      Adat istiadat leluhur kita.
10).Baate lo Bulango :
       Ami tiyombu tanggapa  :    Kami nenek mengawasi .
       Hipipide hi wolata palata   :    Siap siaga.
       To mimbihu paata         :    Mengatasi kesulitan.
       Olale lo huwa data         :    Kepentingan rakyat jelata
       Dahai hulalata               :    Pelihara kesehjahtraan
       Tunggulo u  ilomata           :    Sampai ada Keberhasilan
       Wu’udiyo bubalata        :    Taatilah norma dan aturan.
       To banta wombu ilata    :    Kepada anak –anak tercinta.
3.5.2.10. Mongunti
     Setelah selesai dengan acara molahuli dilanjutkan dengan mongunti (menutup). Dengan acara mengunti ini sebenarnya acara inti momulanga akan berakhir tetapi bukan berarti molomela huhulo’a lo bulita. Para undangan seluruhnya masih tetap dalam keadaan semula atau huhulo’a lo bulita. Sebagai pembawa acara mengunti ini ialah seorang diantara 4 kimalaha dalam hal ini Ti Hungayo. Dengan tuja’i sebagai berikut  :
Patila  dula mulia                         :         Pimpinan Negeri mulia
Titimenga Lo Hunggiya        :      Dan segala sesuatu
Hente he polomaliya             :      Amankalah selalu
U maaalo polojanjia              :      Apa yang sudah janjikan
Lo lipu duluwotiya                       :         Oleh kedua Negeri ini.
Tahu – tahu to rahasia                 :         Tersimpan dalam rahasia
Hente amaliyalo                    :      Amalkan selalu
Limutu – Hulontalo              :      Limboto – Gorontalo
Uwito u ngopanggalo                   :         Adalah dwi tunggal
Hente amaliya tutu                       :         Amalkan sungguh – sungguh
Hulontalo - Limutu               :      Gorontalo – Limboto
Tutuwawu otutu                          :         Yang sama dan Satu.
Dahayi bolo moputu             :      Jaga jangan sampai putus
To janji lo buku                           :         Seperti janji yang tertulis.
3.5.2.11. Modu’a
   Melalui acara modu’a (berdo’a) Baate lo Hulontalo mopomaklumu to tombuluwo dengan mengucapkan  : “ Amiyatiya mongotiyamo lo duudulamayi ode talu lo ito Eeya mopomaklumu lo’u mamo du’a “ artinya, kami para pemangku adat memberitahukan kepada Tuanku, bahwa acara doa akan dimulai. (Acara ini ditandai dengan bunyi genderang Hantalo, sebelum mopomaklumu). Sebagai tanda-tanda tujuan tombuluwo mengangkat tangan kanan dengantelunjuk lurus keatas. Acara modu’a sudah dapat dilaksanakan dan sebagai pelaksana ialah Kadli lo hulontalo. Tombuluwo dan seluruh undangan menadahkan tangan, perangkat kadli melagukan monasibu. Pada waktu kadli mengucapkan Alhamdulillah petanda doa selesai tombuluwo dan undangan menyapukan tangan kemuka dengan mengucapkan Alhamdulillah.
3.5.2.12. Mongabi
                        Mengabi maksudnya mengubah cara duduk adat (huhulo’o lo bulita) atau istirahat. Baate lo hulontalo bersama dengan baate lo limutu menghadap kadli Gorontalo dan Limboto mopomaklumu lintonga terdiri dari rangkaian momulanga ialah mogabi dan didahului dengan hantalo. Empat orang baate teeto teeya (gorontalo dan limboto) diapit oleh dua orang perangkatnya menghadap dan molubo tombuluwo yang bicara baate lo limutu dengan mengucapkan  :
Eeyanggu, Eeyanggu, Eeyanggu       : Tuanku, Tuanku, Tuanku.
Maa siampurnama’o                         : Telah sempurnalah
Du’o lo penobatan lo ito eeya     : Doa penobatan / pemberian gelar dari Tuanku.
Wolo dile lo ito eeya                    : Bersama permaisuri tuanku
Ito eeya motisingolepo                 : Tuanku beristirahatlah
Eeyanggu                                     : Tuanku
Salallahu                                      : Salallahu
     Dengan berakhirnya acara Mongabi Taa Tobuluwo dan Ti Mbu’i sudah boleh merobah cara duduk atau beristirahat, sebagai pertanda bahwa rangkaian Upacara Adat Momulanga telah selesai.
3.6. Penutup
     Dalam bagian penutup ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran.
3.6.1. Kesimpulan
3.6.1.1. Upacara adat momulanga kalau dikaji secara mendalam adalah sesuai dan sebagai pengamalan Pancasila.
3.6.1.2. karena merupakan alat untuk mendorong kelancaran pembangunan menuju sasarannya ialah masyarakat Pancasila.
3.6.1.3. Perlengkapan misalnya hantalo, alikusu dan tolitihu mutlak di adakan karena mempunyai makna yang dalam.
3.6.1.4. Momulanga sebagai slah satu bagian budaya daerah mengandung makna yang dalam, baik dilihat dari segi yang diberikan pulanga sebagai pejabat paupun dilihat dari segi agama.
3.6.1.5. Pulanga dapat diberikan kepada seorang putra daerah yang menjabat diluar, tapi memperlihatkan ilomata (karya) besar untuk kepentingan seluruh masyarakat.
3.6.3. Saran
3.6.2. 1. Perlunya dibentuk secara formal dengan surat Keputusan Pemerintah Daerah Badan Pemangku Adat yang diketahui oleh unsur pemerintah daerah yang berfungsi selain melestarikan juga antara lain menentukan /menilai seseorang yang berhak diberikan pulanga dan lain-lain.
3.6.2.2. Agar pelaksanaan upacara adat momulanga berjalan dengan tertib sesuai makna dan tujuannya perlu difikirkan suatu bangunan semacam yiladia yang berfungsi ganda yaitu sekaligus sebagai museum menyimpan hasil budaya daerah.
3.6.2.3. Demi kelestarian budaya daerah sebagai bagian buadaya nasional, adalah wajar bila para pejabat selain intansi yang memang bertugas untuk itu, memberikan perhatian lebih banyak lagi terutama para camat diwilayah masing-masing dimulai dengan menata semua perangkat pelaksana adat itu.
3.6.2.4. Lestarinya budaya itu tidak lepas dari pelaksanaannya yaitu pemangku adat yang sekarang ini mulai menghitung ialah apitalau dan perangkatnya untuk itu wajarlah kalu yang berwewenang memperhatikan nasipnya. Selain itu olah raga langga dan longgo perlu digiatkan antara lain untuk memperoleh generasi pengganti apitalau dan perangkatnya.
3.6.2.5 Agar semu pejabat diberikan pulanga sesuai ketentuan adat misalnya kepala kampung/desa/lurah, sambil mengaitkan kegiatan ini dengan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD).

3.6.2.6. Agar jabatan pembantu Bupati didalam pelaksanaan adat diperlakukan/ dipersamakan dengan jabatan Huuhuhu (jogugu, wedana).

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Adati Hula-hula'a tosara'a,Sara'a Hula-Hula'a to Kitabi.
    Hula-hula'a = Huhula'a/o dapat ditanyakan langsung kepada Para nelayan. Disana ada bentuk Huhula'a yakni tempat tiang layar berdiri.
    Aditi Humba-Humba'a Tosara'a. Humba'a Bisa ditemukan pada para pembuat Anyaman tikar dari Peya-peya disitu jelas bentuk Humba'a atau artinya sama dengan Penyambung satu peya-peya dengan peya-peya yang lain agar ayaman tikan menjadi panjang. Jika Hanya Hulo-hulo'o ini sangat tidak masuk akal kalau kalimatnya "bersendikan" kalau kalimatnya "bersanding" Kata Hulo-hulo'o bisa jadi..
    Bolo maapu sekeder baerbagi Ilmu saya, bukan bermaksud mengajari....

    BalasHapus